Selasa, 17 Maret 2009

Rokok

ROKOK
Dari dulu sampai sekarang permasalahan rokok tidak pernah berhenti diperbincangkan. Berikut ini adalah sebagian dari diskusi tentang rokok, khususnya mengenai hukum rokok dalam kacamata syariah.
Tanya : Saya dengar bahwa hukum rokok sekarang ini adalah haram?
Jawab : Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang mengatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafi’I bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah (الأصل في الأشياء الإباحة) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Nah, karena tidak ditemukan dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka pengambilan hukumnya dengan istish-hab (kembali ke hukum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah.
Setelah itu para ulama membahas efek negatif dari merokok seperti menyebabkan bau mulut dan asapnya yang terkadang bisa menggangu orang lain, maka kemudian para ulama menetapkan bahwa rokok hukumnya makruh. Dan makruh disini adalah makruh li ghoirih (‘aridli) bukan makruh li dzatih. Jadi jika sebab-sebab kemakruhannya dapat dihilangkan, maka hukumnya menjadi tidak makruh lagi.
Tanya : Tapi saat ini para dokter menyatakan bahwa rokok merusak kesehatan sehingga sudah seharusnya para ulama zaman sekarang menghukumi rokok itu haram?
Jawab: Sebelum kita memasukkan unsur kesehatan sehingga menjadi ‘illat untuk mengharamkan rokok, maka perlu kita kaji dulu seberapa jauh rokok dalam hal merusak kesehatan. Dan seperti yang kita ketahui bahwa rokok tidak merusak kesehatan secara langsung atau berefek seketika, akan tetapi setelah melalui jangka waktu yang lama (bertahun-tahun) dan dilakukan secara terus menerus (kontinyu), maka barulah perokok menjadi sakit atau rusak kesehatannya. Dan hal ini tidak hanya terjadi pada para perokok saja, tapi juga pada orang yang tiap harinya selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung bahan pengawet. Bahkan orang yang setiap harinya mengkonsumsi daging yang halal juga akan terkena penyakit darah tinggi dan kolesterol. Dan sebaliknya, orang yang pernah mencoba menghisap rokok beberapa kali saja selama hidupnya maka tentunya tidak akan berakibat merugikan terhadap kesehatannya.
Tanya : Jika dikatakan bahwa rokok tidak merusak kesehatan secara langsung dan efeknya juga tidak seketika, maka bagaimana dengan orang yang baru pertama kali merokok biasanya akan batuk-batuk?
Jawab: Batuk disini bukan berarti sakit batuk, tapi hanyalah bentuk refleks setelah ada benda asing yang masuk ke tenggorokan. Dan ini terjadi karena orang tersebut baru pertama kali merokok sehingga belum tahu cara menghisap rokok yang tepat. Oleh karena itu biasanya setelah merokok untuk kedua kalinya tidak akan batuk lagi. Seperti orang yang minum air dengan cara yang tidak tepat maka akan tersedak. Juga orang yang pertama kali mencium parfum dengan bau wangi yang menyengat biasanya akan bersin-bersin. Maka tidak bisa dikatakan dalam kasus ini bahwa minum air dan mencium parfum menjadi haram hukumnya. Dan beberapa orang juga tidak mengalami batuk-batuk walaupun baru pertama kali merokok.
Tanya : Bukankah disetiap bungkus rokok tertulis “Rokok dapat menyebabkan kanker”?
Jawab : Memang benar bahwa rokok dapat menyebabkan kanker, tapi bisa juga tidak. Dan bisa kita lihat banyak orang terkena penyakit kanker, paru-paru , dan jantung padahal dia tidak merokok. Dan sebaliknya banyak perokok yang tetap sehat bugar sampai masa tuanya.
Dan peringatan tersebut memang harus dicantumkan disetiap bungkus rokok karena merupakan aturan dari pemerintah. Seperti halnya berlaku untuk produsen obat-obatan yang mana mereka juga mencantumkan efek samping dari penggunaan obat tersebut. Bahkan untuk multivitamin yang notabene baik untuk kesehatan dan dianjurkan diminum setiap hari pun tertulis dalam bungkusnya peringatan-peringatan, misalnya; “Tidak dianjurkan untuk pengidap darah tinggi, penggunaan diluar dosis yang dianjurkan dapat menyebabkan kerusakan hati, dan lain sebagainya”.
Tanya : Orang-orang yang mengharamkan rokok berhujjah dengan ayat 195 surat al-Baqoroh?
ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة
(Artinya : dan janganlah kamu jatuhkan dirimu dalam kehancuran)
Jawab : Kita tidak bisa “memakan” ayat ini secara mentah-mentah. Apalagi yang disebutkan itu hanyalah potongan kalimat dari ayat yang panjang. Kalimat yang sempurna dari ayat tersebut adalah;
وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة وأحسنوا إن الله يحب المحسنين
(Artinya : Dan berinfaklah di jalan Allah dan jangan jatuhkan dirimu dalam kehancuran, dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan)
Dalam hadits riwayat al-Bukhori tentang ayat ini, dikatakan bahwa ayat ini turun dalam masalah nafkah. Sedangkan at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan al-Hakim menyebutkan bahwa at-tahlukah bermakna terlena oleh harta dan meninggalkan jihad. Dan dalam kitab al-Jami’ li ahkamil Qur’an karangan al-Qurthubi, disebutkan bahwa Ibnu Abbas r.a. dan Hudzaifah bin al-Yaman mengatakan bahwa arti at-tahlukah adalah meninggalkan infaq di jalan Allah dan khawatir terhadap nasib keluarganya. Dan dari sahabat Rasulullah Nu’man bin Basyir r.a. mengatakan bahwa at-tahlukah adalah seseorang yang berdosa kemudian mengatakan bahwa Allah tidak mengampuninya (Tafsir al-Quran al-Adzim – Ibnu Katsir).
Jadi semua riwayat dalam ayat ini menyatakan bahwa yang dimaksud at-tahlukah disini bersifat maknawi, bukan bersifat dzohir yaitu merusak jasad, apalagi dikaitkan dengan merusak kesehatan karena merokok yang tentunya jauh dari arti yang sebenarnya dan juga jauh dari asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat ini.
Dan apabila at-tahlukah ini dimasukkan dalam kaidah al-halak dalam fiqih maka juga tidak tepat. Karena dalam kaidah fiqih al-halak artinya adalah khawatir akan kehancuran badan yang sudah mencapai tingkat dloruroh, yang membolehkan seseorang yang sakit untuk mengganti wudlu dan mandi dengan tayamum atau membolehkan seseorang yang sangat kelaparan untuk makan bangkai karena tidak ada makanan lain selain bangkai itu untuk menghindari al-halak.
Tanya : Orang-orang yang mengharamkan rokok juga berhujjah dengan ayat 157 surat al-A’rof;
ويحرم عليهم الخبائث
Artinya : (...menghalalkan atas mereka apa-apa yang baik dan mengharamkan kepada mereka apa-apa yang buruk…)?
Jawab : Sekali lagi jangan suka “memakan mentah-mentah” suatu ayat, tapi cobalah untuk membuka tafsir dari ayat tersebut. Maksud dari menghalalkan apa-apa yang baik adalah menghalalkan segala sesuatu yang baik yang diharamkan oleh Bani Israil dan kaum jahiliyah sebelum kedatangan Islam. Dan mengharamkan apa-apa yang buruk adalah segala sesuatu yang memang diharamkan seperti darah, babi, bangkai, dan lain sebagainya. Dan Allah tidak mengaharamkan sesuatu dengan nash kecuali memang sesuatu itu adalah buruk. Bukan diartikan sebaliknya bahwa segala sesuatu yang buruk adalah haram. Akan tetapi arti dari ayat tersebut adalah bahwa sesuatu yang nash memang mengharamkannya maka sesuatu itu pasti buruk.
Tanya : Dan orang-orang yang mengharamkan rokok juga berhujjah dengan hadits riwayat ad-Daruquthni dan al-Baihaqi;
لا ضرر ولاضرار
(Artinya : Tidak ada dloror dan dliror )
Jawab : Dalam kitab Fathul Mubin syarah kitab Arbain Nawawi karangan Ibnu Hajar al-Haitami disebutkan makna dloror adalah perbuatan yang merugikan / membahayakan orang lain yang perbuatan itu bermanfaat bagi pelakunya. Sedangkan dliror artinya perbuatan yang merugikan / membahayakan orang lain dan perbuatan itu tidak bermanfaat bagi pelakunya. Jadi jelas bahwa makna dloror dan dliror dari hadits ini adalah untuk orang lain, bukan dloror atau dliror untuk diri pelaku sendiri. Dan kemudian dibahas panjang lebar masalah perbuatan yang merugikan / membahayakan orang lain yang berujung pada hukum wajib, sunah, haram ,makruh, dan mubah. Seperti makan bawang maka hukumnya makruh, dan meletakkan kayu di dinding milik tetangganya hukumnya mubah, menyerang untuk membela diri dari serangan orang kafir adalah wajib, dan lain sebagainya. Dan kaitannya dengan hal ini maka para ulama sudah menetapkan bahwa rokok hukumnya adalah makruh.
Dan kalaupun diartikan kemudlaratan untuk diri pelakunya sendiri pun maka dapat disimpulkan bahwa bersifat kasuistis tergantung pada kondisi masing-masing orangnya. Bisa kita contohkan jika ada seseorang yang terkena stroke dan dokter mengatakan bahwa apabila ia mengkonsumsi daging sekali lagi maka pembuluh darahnya akan pecah atau strokenya akan bertambah parah yang bisa menyebabkan kematiannya, maka bagi orang tersebut mengkonsumsi daging hukumnya adalah haram. Berbeda dengan orang sehat yang dokter mengatakan “jangan makan daging setiap hari, karena hal itu dapat menyebabkan penyakit darah tinggi dan kolesterol”, maka mengkonsumsi daging bagi orang ini hukumnya adalah halal. Begitu juga dengan rokok.
Tanya : Jika memang hukum rokok tidak ada dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits, padahal dalam hukum Islam ada ijma’ dan qiyas. Seperti ekstasi tentunya tidak ada nashnya tapi kemudian diqiyaskan dengan khomr. Dan untuk ijma’, bukankah sudah ada pertemuan ulama sedunia yang mengharamkan rokok?
Jawab: Yang pertama tentang qiyas. Dalam masalah ekstasi diqiyaskan dengan khomr karena memiliki ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Sedangkan rokok diqiyaskan dengan apa? Karena rokok tidak memabukkan. Dan jika diqiyaskan dengan racun, maka ‘illatnya menjadi tidak sama. Karena racun memiliki efek yang merusak secara langsung dan seketika, sedangkan rokok tidak seperti itu.
Yang kedua tentang ijma’, maka kita harus melihat syarat-syarat ijma’ sesuai dengan ilmu ushul fiqih. Dan pertemuan ulama sedunia tersebut apakah sudah bisa disebut sebagai ijma’? mungkin yang diundang dalam pertemuan tersebut adalah para ulama yang memang anti rokok. Jadi ini pertemuan kelompok yang mana? Karena kelompok ulama lainnya juga mengadakan pertemuan ulama sedunia yang menghasilkan keputusan bahwa hukum rokok adalah makruh.
Tanya : Orang yang merokok telah membuang uang untuk sesuatu yang mubadzir?
Jawab : Tidak seburuk itu, karena merokok bukan membakar uang, tapi ada sesuatu yang dikonsumsi, ada kebutuhan yang terpenuhi, dan ada kepuasan yang diperoleh.
Tanya : Saya kira semua ini tergantung dari hawa nafsu, karena kebanyakan dari ulama yang mengatakan bahwa rokok itu halal atau makruh ternyata mereka sendiri adalah perokok berat?
Jawab : Anda harus bertaubat karena telah berprasangka buruk (su’udzon) terhadap para ulama tersebut. Saya yakin para ulama yang mengatakan bahwa rokok itu halal (makruh), mereka telah menetapkan hukum tidak dengan hawa nafsunya, tetapi dengan ijtihad, istikhoroh, obyektivitas, dan dengan niat yang suci. Mereka tidak ingin mengharamkan sesuatu yang halal. Para ulama tersebut tidak ingin termasuk orang-orang yang dengan mudah mengharamkan sesuatu. Bahkan diriwayatkan bahwa saking hati-hatinya Imam malik dalam menetapkan hukum haram, maka muncul dari beliau istilah karohah tahrim dan karohah tanzih
Tanya : Bagaimanapun juga masalah kesehatan tetap harus ditambahkan sebagi “illat´ dalam membuat keputusan baru dalam hukum rokok saat ini?
Jawab : Ya betul, sekarang ini masalah kesehatan memang harus ditambahkan sebaigai ‘illat baru dalam menghukumi rokok. Akan tetapi karena efek merusak kesehatan ini tidak secara langsung dan seketika, maka belum sampai ke derajat yang bisa dihukumi haram. Jadi untuk saat ini bisa dikatakan bahwa hukum rokok bertambah kemakruhannya Dan saya anjurkan khususnya kepada orang-orang yang berpendidikan dan para tokoh masyarakat untuk menjaga kepribadiannya dengan tidak merokok, tidak makan petai/jengkol, tidak kencing berdiri, dll. Karena mereka akan menjadi contoh bagi masyarakat umum dalam sehari-harinya. Yaitu tidak hanya menjalankan yang fardlu saja, tetapi juga selalu menjaga hal-hal yang sunah. Dan tidak hanya meninggalkan perkara yang haram, tetapi juga menjauhkan diri dari hal-hal yang makruh. Wallohu a’lam bis showab.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------helmi wafa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar