Minggu, 28 September 2008

Dakwah (I)

Fiqih Dakwah (I)
Manusia, pada dasarnya selalu menerima kebenaran, tetapi kadang-kadang kebenaran itu keluar dari seseorang yang tidak ia senangi, ketika itulah sang penjahat ulung yang tidak kelihatan oleh kaum manusia, yaitu Iblis, berpesta karena mereka telah menyesatkan seseorang dari keturunan Nabi Adam As. Tetapi rahmat Tuhan melebihi siksa yang pedih, makanya siksa pun di tunda sampai hari kelak nanti. Kadang-kadang kebenaran itu, juga nampak dari beberapa kelompok. Itulah yang membuat masyarakat kebingungan dan merasa bahwa hanya salah satu dari mereka yang berhak diikuti. Di lain sisi para da'i juga berbeda acuan dalam menindak lanjuti perbedaan antara mereka, tentu yang harus dilakukan oleh semua pihak adalah bagaimana membersihkan hati mereka ketika menjawab, menyanggah atau meralat semua yang mereka dengar atau ucapkan, mereka juga harus ingat kalau seluruh pihak adalah kalangan Islam. Kebenaran juga tidak dipastikan dengan banyaknya pendukung, karena hasil kerja keras dari seorang da'i terkadang tertunda ataupun mengalami rintangan. Yakinlah bahwa ketika seseorang berdakwah dia telah melaksanakan sebuah kewajiban :
وأمر بالعرف (الأعرف 199)
Dan yakinlah bahwa hidayah dan taufik hanya dari Allah Swt. Dan semua yang ia lakukan hanya sebagai ibadah untuk mendekatkan dirinya kepada Penciptanya Yang Maha Kuasa. Dakwah juga tidak terbatas dari kalangan bersarung, berjubah, bersorban, dll. Tetapi dakwah adalah kewajiban semua umat, bahkan mengajarkan doa sebelum tidur :
"اللهم إني أسلمت وجهي إليك وفوضت أمري إليك وألجأت ظهري إليك رغبة ورهبة إليك لا ملجأ ولا منجأ منك إلا إليك اللهم آمنت بكتابك الذي وبنبـيك الذي أرسلت". رواه البخاري ومسلم.
menyarankan tidur dengan menghadap kiblat dan berbaring ke sebelah kanan kepada anak atau teman adalah sebuah dakwah. Dakwah juga bukan milik laki-laki, kaum Hawa juga mempunyai peran dalam berdakwah. Seorang ulama yang masyhur dengan sebutan "Ibnu Daqiqil ied" pernah berucap kepada istrinya :"Akulah sang pengajar, akulah sang pendidik", pada zaman itu hari raya adalah hari hadiah bagi anak-anak kecil, kerena para orang tua berbagi roti yang manis untuk mereka, ketika Ibnu Daqiqil ied akan berkhutbah hari raya, ia pun meminta kepada istrinya beberapa bungkus roti untuk ia bagi, sang istri menjawab :"Hari ini tidak ada tepung", lantas ia pun kebingungan, ketika di atas minbar ia beberapa kali mengucapkan :"Daqiqil ied" yang artinya adalah tepung hari raya, sejak itu ia di gelar dengan "Ibnu Daqiqil ied".
Keikhlasan niatlah yang akan memperlihatkan apakah ia benar-benar menjadikan dakwah sebagai ibadah atau hanya ingin dikenal dengan sebutan orang sholih. Lihatlah Syeikh Abdul Qodir al-Jailani dengan keikhlasannya, ketika jatuh di depan majelisnya seekor Ular, beliau tidak berhenti untuk memberikan siraman rohani.
Seorang da'i harus ingat bahwa keaibannya sendiri jauh lebih banyak dari para pendengar. Terkadang kesombongan juga merasuk dalam ketaatan dan ibadah seseorang. Seorang da'i juga harus kuat dalam bertawakkal. Jika seseorang bertanya :"Apa yang harus kita lakukan, supaya benar-benar bertawakkal?", al-Habib Umar menjawab :"Dengan membaca hikayat para Rasul, Nabi-nabi, pewaris mereka (ulama) dan mengerjakan segala tuntunan dalam ayat al-Qur'an atau hadits untuk bertawakkal".
Al-Habib Ali Zainal Abidin (Hadhromaut) pada tahun ini (2008) dalam majelisnya di Darul Musthofa menjelaskan kaidah-kaidah dalam berdakwah yang tersimpun dalam tiga kaidah : Pertama, tatsabbut (kepastian/verifikasi). Kedua, tafahum (memahami). Ketiga, isti'ab (kemampuan/kapasitas).
Kaidah pertama adalah bagaimana seorang da'i dapat mengontrol kendali pola berpikirnya, dan ia tidak akan berlebihan dalam berdakwah, ketika ia mendengar seseorang mengupat, tentu ia akan ingkar dan melarangnya, tapi ia juga tidak berlebihan. Kewajiban seorang da'i ketika itu adalah tatsabbut, artinya ia harus bertanya kepada pelaku, bahwa ia tidak dalam keadaan yang diperbolehkan untuk mengupat. Kaidah ini tidak lain bermakna bahwa segala sesuatu harus atas dasar yakin, sampai seorang da'i boleh mengatakan bahwa sang pelaku memang bersalah. Peperangan antar agama di Bosnia dan Serbia adalah contoh dari berita-berita yang tidak akurat, sampai akhirnya perang meletus. Golongan-golongan Islam juga saling menerkam, karena ketiadaan tatsabbut dalam berita yang di siarkan oleh media massa. Pertikaian antara partai atau elit politik juga mewarnai banyaknya tragedi yang tidak berdasarkan keyakinan dalam menghukumi seseorang. Ketika ditanya :"Apakah pertikaian antara partai politik Haram", Syeikh Umar bin Husain al-Khotib (pengajar PP Darulmusthofa) menjawab :"Apakah termasuk petunjuk Nabi Muhammad Saw. Jika seseorang ingin menggugurkan jabatan orang lain?, apakah termasuk petunjuk Nabi Muhammad Saw jika seseorang ingin menjatuhkan nama partai seseorang?, apakah mereka tidak mendengar bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda :"Siapa yang beriman dengan Allah Swt. dan hari kiamat, maka ia akan berkata yang baik atau berdiam"…".
Kaidah kedua adalah tafahhum artinya ia harus memandang lebih jauh, ketika ia melihat seorang pemabuk apakah ia akan memukulnya?, seorang ulama di daerah Afrika pulang dari majelisnya, ketika di jalan, ia menghampiri seorang pemabuk yang telah pingsan di tengah jalan, ia pun turun dan memperhatikannya, ketika itu, ia melihat cincinnya yang bertulisan Allah Swt. ia pun mengusap bekas minuman keras tersebut dari mulutnya, kemudian ia gosokkan minyak ke seluruh badannya, ketika bangun pemabuk tersebut kaget dengan kebersihan dan harum dari tubuhnya, ia bertanya :"Siapa yang telah mengasihaniku dan telah menggosokkan minyak wangi kepadaku?", kemudian pemabuk tersebut datang kepada ulama tersebut dan bertaubat. Itulah hasil dari kaidah tafahhum, seorang da'i tidak membenci orang yang mengerjakan maksiat, tapi ia hanya membenci maksiat tersebut.
Kaidah ketiga adalah isti'ab artinya seorang da'i harus mempunyai kapasitas yang memadai untuk berdakwah, seseorang yang tidak mengerti tentang hukum warisan, tentu tidak boleh untuk mengajarkannya, begitu pula seorang da'i, ia harus melihat situasi kondisi tempat di mana ia berada. Tapi, apakah perbedaan bahasa akan menjadi penghambat? Dalam berdakwah satu bahasa bukan syarat, karena mungkin saja bagi orang Arab berdakwah di Indonesia dengan seorang penterjemah. Tentu, kaidah isti'ab bukan alat pembatas berdakwah, karena sudah kami terangkan, bahwa kewajiban dakwah bagi seluruh umat, dan itu sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, mulai dari ayah bagi anak-anaknya, guru bagi murid-muridnya, atasan bagi bawahannya, dll.
Tulisan pendek ini, insyallah Swt. akan bersambung dalam Fikih dakwah (II). Tulisan ini juga bisa dikatakan opini atau cerpen, kerenatulisan ini adalah rangkuman penjelasan fikih dakwah di Tarim Hadhromaut Republik Yaman yang telah penulis dengarkan. Ya Allah janganlah engkau haramkan kebaikan dari sisimu, karena kejahatan yang ada di sisi kami Amiiiiiin.

(Muhammad Zaki Ahmad Rofi'i)
(20 Ramadhan 1429/ 20 September 2008)