Kamis, 18 Juni 2009

Nu Dan Politik

Awalnya biasa aja, lama-kelamaan ramai juga diskusinya, pada awalnya penulis menyatakan bahwa ikut serta dalam berpolitik dan sistem demokrasi adalah suatu keharusan dan kita hanya menunggu kepercayaan masyarakatIslam terhadap khilafah, dan yang lain menambahkan kalau imbas dari hal tsb(ikut andil dalam menguatkan sistem demokrasi) adalah mereka (masyarakat Indo) tidak akan keluar dan bebas dari UUD belanda, dan akan terjadi pertumpahan darah jika UUD tsb diotak-atik. dan yang lain menambahkan kalau peran NU kurang menggereget bahkan terkadang membela front anti khilafah yang sebenarnya adalah wajib kifayah, bahkan mereka pernah bangga karena menggagalkan sistem khlilafah, kemudian dijawab bahwa perkara khilafah yang pernah digagalkan NU bukanlah khilafah melainkan pemberontakan pada zaman soekarno.
yang lain menambahkan bahwa politik harus dan kitalah yang harus ikut peran serta untuk menjadikan para umat percaya dgn khilafah. adalagi yang menambahkan bahwa peran kiai kurang mengigit mereka tidak melakukan interaksi dilapangan.
lain lagi yang satu ini ia berpendapat bahwa partai yang berembel-embel Islam sebaiknya di hapus, dan lebih baik bagi seorang da'i adalah menyetir para politikus yang matang tanpa ikut serta dalam politik agar orang yang menerima kiai tsb lebih banyak dan perannya dimasyarakat diterima semua kalangan dan partai, sekian

Kamis, 11 Juni 2009

Fatwa Milik Siapa Bagian II

Fatwa Milik Siapa??? (2)

Fatwa Dan Fiqih
Jika ditelaah lebih dalam fatwa mempunyai ruang yang lebih sempit dari fiqih. Fiqih adalah salah satu ruangan dan wadah dalam menanggulangi problema masyarakat secara utuh, meskipun fiqih selalu identik dgn sesuatu yang berbau religi, tapi pada kenytaannya fiqih lebih menelusuri jejak langkah manusia, karena sebuah kasus tidak lepas dari hukum syariat. Berbeda dgn fatwa yang hanya terkait dgn kasus dan pelaku tertentu. Fatwa juga tidak mengikat dan hanya menanggulangi disaat-saat tertentu, bukan dgn menyebarluaskan ide, pemikiran, opini, wacana, artikel dsb. Ia juga harus seirama dgn usus-usus (pondasi) agama. Kalau mengatakan bahwa tindak pidana terhadap pelaku kriminal pemboman harus dimaafkan berarti telah menonaktifkan fungsi undang-undang Negara. Begitu pula mengatakan bahwa semua agama sama, berarti menganulir fungsi Al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam. Terlintas dibenak saya, apakah thoriqot-thoriqot sufi hanya ada satu yang benar?
Tentu kita bisa menseleksi, mana aktifitas yang berlawanan dgn agama, dan mana juga aktifitas yang berakibat negatif ! aktifitas kaum sufi tsb tidak lepas dari dua hal. Pertama, menyatakan bahwa seorang wali adalah sumber dan kuasa memberi berkah dan manfaat, keyakinan ini tidak bisa di tolerir lagi, karena sudah memasuki daerah terlarang (mensekutukan Allah swt). Kedua, memakan kaca, memotong tangan dsb, dalam bagian yang kedua ini aktifitas tsb memasuki daerah kefasikan -Ingat tulisan ini hanya opini, penulis bukanlah mufti sampai menghukum seperti di atas-.

Kriteria Mufti
Ketika seorang mufti mengutip suatu ibarat, tentu ia harus lihai dan cerdas terhadap segala perincian kutipan, terkadang suatu teks berkaitan erat dgn teks dipermasalahan lain, agar kutipan tsb sesuai dgn kasus. Ibn Nujaim berkata:"Untuk menelusuri ibarat fuqaha dgn apik, seorang pengutip harus jeli dgn ilimitasi yang disensor (kerana sudah jelas) dan alasan-alasan hukum yang rasional".
Di samping itu Mufti harus tegar, tenang, penyabar, mempunyai kapasitas yang memadai dalam berargumen, piawai dalam memahami kasus, mengenal kondisi masyarakat dan berkecukupan dari segi ekonomi. Mufti juga harus diterima oleh ulama-ulama dan ia termasuk orang nomor satu dalam bidang fiqih. Lebih dari yang di atas mufti adalah mujtahid mutlak yang mempunyai kriteria dan syarat yang lebih padat dan berbobot, para ulama pun berpendapat bahwa mujtahid mutlak telah sirna. Dari sana yang tertinggal dizaman sekarang hanyalah Mufti majazi (gadungan), karena Mufti pada era dulu adalah para mujtahid, bukanlah para pengutip. Tetapi karena pangkat ini adalah pimpinan, Mufti menjadi sebuah kelaziman dgn kapasitas seadanya.

Mufti Dan Tholib Ilm
Al-Qorofi berkata:"Para cendikiawan fiqih islami terbagi tiga:
1. Para cendikiawan yang hanya menelaah kitab-kitab rangkuman dan ia tidak memahami secara jelas ilimitasi para fuqoha. Cendikiawan ini tidak boleh berfatwa sampai ia mengerti jelas dgn ilimitasi tsb, lebih lagi terhadap kasus yang baru terjadi.
2. Piawai dalam hal di atas, tapi tidak mempunyai kapasitas imam madzhabnya dalam menjelaskan argumentasi. Cendikiawan ini tidak berhak berfatwa kecuali terhadap kasus yang sesuai dgn teks.
3. Piawai dan mempunyai kapasitas yang memadai sebagaimana imamnya. Cendikiawan ini harus ektra keras dalam meneliti dan menelaah kasus yang tidak terdapat teks dari imamnya."
Dan yang lebih ditekankan adalah fatwa tidak boleh keluar dari jalurnya, ia tidak boleh berseberangan dgn Al-Qur'an, Hadits yang jelas esensinya, ijma' ulama dan qiyas yang diambil dari analogi yang aktual dan akurat. Fatwa juga harus sesuai dgn pendapat yang kuat, disaat tidak ada darurat yang mendesak. Para ulama menyebutkan bahwa mengambil pendapat yang lemah karena praktek harus sesuai dgn tiga catatan:
1. Praktek tsb berasal dari kalangan ulama.
2. Praktek tsb jelas keabsahanannya dgn para saksi.
3. Praktek tsb tidak bertentangan dgn undang-undang agama Islam, sekalipun hanya sesuai dgn pendapat minoritas atau syadz (pendapat yang dipraktekkan, tapi kurang sesuai dgn kaidah imamnya).

Penutup
Bijaksana terhadap kemungkaran dari kalangan ulama menjadi penutup opini ini, disaat munculnya fatwa-fatwa yang aneh tentu kebijakan tsb sangat diperhatikan. Ibn Qoyyim berkata:"Untuk menanggulangi kemungkaran ada beberapa macam -dgn catatan bahwa mungkar tsb telah disepakati oleh semua ulama-:
1. Memusnahkannya.
2. Menguranginya. Dua bagian ini diperbolehkan bahkan disyariatkan seperti membiarkan anak-anak membaca buku-buku komik untuk menghindari dan mengurangi minat terhadap buku-buku bid'ah dan sesat. Dan seperti mengurangi perzinahan dgn menerapkan cadar.
3. Mengganti dgn kemungkaran yang lain. Bagian yang ketiga ini adalah daerah ijtihad, seperti perlahan-lahan dalam menerapkan jilbab (kerudung).
4. Mengganti dgn kemungkaran yang lebih dahsyat. Bagian terakhir ini dilarang karena tidak menyelesaikan masalah, seperti mencela penyembah berhala yang membuat mereka mencela Allah swt. Dan seperti menegur orang fasik yang sedang mendengarkan musik-musik yang haram sampai berakibat sewenang-wenangnya ia dgn membunuh.
Sekian dari penulis, wallau a'lam bisshawab.