Jumat, 19 Desember 2008

Qodho & qodar

"PPI" kembali mengadakan diskusi kedua, kali ini dalam bidang aqidah. Usaha seorang hamba tidak memberi efek terhadap ketentuan Tuhan, tapi karena kita tidak mengetahui apa yng ada dalam ilmu Tuhan, makanya kita diharuskan usaha. Tuhan juga Maha Adil & tidak ditanya tentang perbuatanNya, Ia menghendaki si A masuk neraka dan si B masuk surga, itulah iradahNya, sekian...

Jumat, 12 Desember 2008

Hikayat Sayyid Ar-Rifa'i

Hikayat Sayyid Ar-Rifai & Kritik Al-Gimari

Sebelum el-Faqier berangkat ke Yaman, el-faqier adalah seorang pelajar di Ponpes. Darussalam Pasayangan Martapura Kalsel. El-faqier sering mendengar kisah para aulia (wali-wali) dari Hadramaut, dll. seperti kisah Abdurrahman al-Jufri Maulal Arsy, beliau adalah wali masyhur zaman dulu. Seorang saudagar di semenanjung Arab menderita penyakit. Ia mengutus pembantunya datang kepada Sayyid Abdurrahman Maulal Arsyah untuk meminta obat.. Ketika matahari terbit, pembantu tsb. datang dan menjumpainya sedang mencangkul di Sawah. Beliau memerintahkannya untuk menunggu. Menteri tsb. heran, karena beliau tidak kembali dari pagi sampai sore. Saat matahari akan terbenam, ia kembali ke rumah. Menteri tsb langsung bertanya tentang kesibukannya tsb. sampai.meninggalkan shalat. Sayyid Abdurrahman menjawab :''Buka pintu-pintu kamar tsb''. ketika ia membuka pintu tsb. semua yang ia lihat adalah Sayyid Abdurrahman. Ia pun sadar martabat kewalian sayyid Abdurrahman. Kemudian ia meminta kepada Sayyid Abdurrahman obat untuk penyakit tsb. Sebelum pulang, ia menghadiahkan emas-emas kepada sayyid Abdurrahman, tetapi beliau menolaknya dan ia menyuruhnya untuk menengok ke arah gunung, seketika gunung tsb. berubah menjadi emas, kemudian kembali seperti gunung biasa.
Hikayat yang lain adalah ziarah Sayyid ar-Rifa'i ke Madinah dan ketika di depan kubur Rasulullah saw. ia mencium tangan Rasul saw. yang suci yang keluar dari kuburnya.
Kisah ini begitu masyhur di kalangan sufisme, tetapi al-Allamah al-Gimari mempunyai pandangan yang lain. Ia berpendapat bahwa cerita itu hanya karangan fiktif belaka, hal itu di motifasi oleh para pengikut sayyid ar-Rifa'i yang menonjolkan murabbi mereka dan menempatkannya di antara para quthub. Ar-Rifa'i tidak masyhur dengan nasab sampai ke Nabi Muhammad saw. oleh karena itu, mereka mengada-ngada cerita yang menunjukkan bahwa sayyid ar-Rifa'i memang salah satu cucu rasulullah saw. yang mempunyai martabat khusus di sisi rasulullah saw. Hal-hal lain yang menguatkan pandangannya adalah:
Ketetapan para fundamentalis bahwa berita yang seharusnya tersebar di kalangan umum secara mutawatir, tetapi hanya dikutip oleh beberapa kalangan tertentu adalah dalil ketidak absahan berita tsb. seperti seorang khatib yang jatuh dari minbar.
Para periwayat kisah tsb. tidak berkecocokan dalam laporan kisah tsb. bahkan hal tsb. menunjukkan kebatilannya.
Cerita tsb. di dasari bahwa beliau adalah seorang sayyid, sementara beliau bukanlah dzurriat dari rasulullah saw.
Berlebihan dalam susunan kisah dan penyampaian, sehingga menunjukkan kesombongan beliau, dan itu bukanlah kebiasaan beliau yang merendah terhadap orang lain.
Syair-syair yang tersusun dan tidak mungkin di ucapkan oleh baginda rasul saw.
Terbenak dalam pikiran saya, apakah kaidah pertama yang ia sampaikan adalah kaidah fiqih atau riwayat secara umum yang di terima oleh ulama ?. Dan apakah kejadian tsb. sudah memenuhi syarat untuk diriwayatkan oleh masyarakat secara umum ?. El-faqier teringat sebuah hadits pertama riwayat imam al-Bukhari, hadits pertama yang di tulis oleh al-Buhkari itu adalah hadits "Innamal a'mälu binniyät", hadits di anggap oleh muhadditsin adalah hadits Gharib Masyhur, dan hal tsb. tidak menunjukkan bahwa hadits tsb lemah. Mereka berpendapat bahwa riwayat sayyidina Umar bin Khatthab dan periwayat darinya adalah riwayat tunggal, tidak diriwayatkan oleh periwayat lain. Tetapi, setelah sampai kepada Yahya bin Sa'id, sanad hadits ini menjadi mutawatir, karena ia (Yahya) meriwayatkannya kepada 150 periwayat. Dan hadits tsb tidak kalah penting dari sebuah karamah atau mukzijat, bahkan hadits tsb masuk ke dalam 70 bab fiqih. Sayyidina Umar berkata :"Saya mendengar rasulullah saw. berkata di atas minbar" dan hanya sayyidina Umar yang meriwayatkan hadits tsb.
Hadits tsb. menunjukkan bahwa sebuah kisah yang diriwayatkan satu orang, padahal selayaknya diriwayatkan secara umum, tidak mengurangi keabsahan kisah tsb. bahkan hikayat sayyid ar-Rifa'i hanyalah sebuah kisah yang tidak perlu di tulis dalam sebuah buku. Bukankah mukzijat rasullah saw. jauh lebih ajaib dari hikayat sayyid ar-Rifa'i, apalagi dalam pemikiran wahabisme. Dan jika masyarakat lebih mengerti, maka mereka akan merealisasikan sesuatu yang lebih penting daripada membicarakan sebuah karamah.
Jika sayyid al-Gimari mengatakan :"Sebuah kisah yang dahsyat, tetapi tidak termaktub dalam buku-buku ini…", tetapi al-Gimari sendiri telah menjelaskan bahwa kejadian tsb. termaktub dalam beberapa buku, dan el-Faqier rasa itu sudah cukup sebagai referensi kisah tsb.
Al-Imam as-Shan'ani berkata :"Tidaklah semua perselisihan riwayat, mengurangi keabsahan sebuah hadits". Dan perselisihan riwayat dalam hikayat sayyid ar-Rifa'i dalam pandangan el-Faqier, sama sekali tidak menyanggah kebenaran kisah tsb. apalagi tentang lafal yang di ucapkan oleh Nabi saw. dan sayyid ar-Rifa'i. Karena, tidak harus bagi seorang periwayat untuk melaporkan kejadian seutuhnya. Di sisi lain perselisihan dalam hikayat tsb. saling menguatkan kisah tsb.
Apakah sayyid ar-Rifa'i keturunan dari Hasan dan Husain ? el-Faqier sendiri tidak berani mengomentarinya, karena menurut el-Faqier tidak ada hubungan dengan kisah tsb. sesungguhnya yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa.
Al-Gimari menganggap bahwa ucapan-ucapan atau riwayat lafal dalam kisah tsb. tidak mungkin keluar dari mulut seorang sayyid ar-Rifa'i, seperti ucapan :"Ya jaddi", beliau bukanlah sayyid, dan seandainya beliau bernasab al-Husaini, ia tidak pernah membanggakan dirinya sendiri, apalagi di depan umum… tapi, el-Faqier malah mengangap bahwa lafal-lafal tsb. adalah dasar kerendahan, kerinduan dan adabnya. Dan el-Faqier tidak pernah mengira bahwa seseorang yang hadir ketika kejadian tsb. akan menyangka bahwa sayyid ar-Rifa'i menyombongkan dirinya dengan ucapan-ucapan tsb. Al-Gimari sendiri tidak yakin dengan argumennya (bahwa sayyid ar-Rifa'i bukan al-Husaini), karena.itu ia berkata:"Ketika kejadian tsb. hadir bersama sayyid ar-Rifa'i sayyid al-Jaili dan tidak mungkin bagi sayyid ar-Rifa'i maju ke depan, membelakangi sayyid al-Jaili, karena al-Jaili adalah al-Hasani dan ar-Rifa'i al-Husaini…(an-Naqdul mubarram, hal.17)", yang el-Faqier faham, al-Gimari kembali menetapkan bahwa sayyid ar-Rifa'i adalah seorang sayyid al-Husaini.
Kerinduan sayyid ar-Rifa'i melupakan dirinya sendiri dan hal tsb. adalah situasi & kondisi khusus terhadap beliau, sampai beliau lupa sesuatu yang pantas dan baik menurut al-Gimari.
Dan bukanlah suatu keajaiban jika keluar dari ucapan rasulullah saw. syair-syair yang indah dan sesuai dengan kaidah. Adapun ayat "wamä allamnähusyi'ra" (Yasin 69) tidaklah menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak pernah mengucapkan atau mengarang syair-syair, karena lafal "fi'lul-madhi" tidak menunjukkan terus-menerus. Dan riwayat-riwayat seperti "Anan nabiyu laa kadzib, wa anabnu abdilmutthalib" adalah bukti tsb. Kesesuaian ucapan Nabi saw. dengan susunan syair-syair adalah riwayat-riwayat minoritas dan tidak menyatakan bahwa Nabi adalah seorang penyair (tafsir al-Qurthubi).
Seandainya el-Faqier menerima bahwa Nabi saw. tidak akan mengucapkan syair yang tersusun menurut kaidah, hal tsb. mungkin saja, karena riwayat syair-syair yang di sampaikan oleh al-Gimari untuk Nabi saw. memang tidak sesuai kaidah ("Wajtama'al furű'u wal-usűlu, seharusnya "Far'u"). Dan kekeliruan i'rab pada syair-syair tsb. adalah darurat syair yang sama sekali tidak berpengaruh, apalagi al-Gimari sendiri mengatakan bahwa i'rab tsb. adalah i'rab syadz. Dan menurut el-Faqier selama tidak menyalahi kesepakatan ulama Nahwu, tidak akan berpengaruh.
Catatan-catatan ini hanya sekadar pengasah otak untuk lebih kritis terhadap pendapat atau opini yang masih dalam kolom ijtihadi. El-Faqier sendiri tidak memilki argument yang kuat tentang kisah tsb. Tapi kisah tsb menurut el-Faqier sudah tersebar luas secara umum. Wallahu a'lam.

kembar siam

Kembar siam
Pada zaman sayyidina Umar bn Khatthab lahir seorang bayi perempuan yang mempunyai dua kaki, dua kemaluan, dua badan, empat tangan dan dua kepala yang utuh, pada waktu itu, salah satu dari badan tersebut, meminta untuk dikawinkan, sementara badan yang kedua tidak meminta, perkara tersebut di angkat kepada amirul mu'minin Umar bin Khatthab, sang khalifah pun mengumpulkan para dewannya untuk merapatkan masalah tsb. Tapi, pada akhirnya meraka tidak sanggup memutuskannya. Sayyidina Umar pun bertanya kepada sayyidina Ali ra. Tentang perkara tsb. Sayyidina berkata:"Tinggalkan makhluk aneh tsb selama tiga hari". Setelah tiga hari berlalu, badan yang bernafsu untuk kawin tsb telah mati. Dan sayyidina Umar memutuskan untuk memotong badan yang telah mati tsb. Badan yang masih hidup menolak dan berkata :"Apakah kalian ingin membunuh aku". Sayyidina Umar pun kebingungan, perkara tsb. Ia serakan kembali kepada Sayyidina Ali ra. Dan ia (Ali) menjawab :"Tinggalkan badan tsb. Selama tiga hari". Setelah tiga hari berlalu, badan tsb akhirnya mati dan selesailah masalah tsb.
pada awal-awal kurun delapan belas di Bangkok Thailand, lahir kembar siam dengan jenis kelamin laki-laki, keduanya mempunyai anggota tubuh yang utuh. Keduanya pun hidup sampai usia enam puluh dua tahun dan kawin dengan dua perempuan bersaudara kandung. Mereka pun melahirkan anak-anak dan cucu yang normal sampai sekarang. Jumlah anak keduanya 23 anak, 14 laki dan 9 perempuan. Lafal "siam" adalah bahasa Thailand, dari sejarah mereka berdua, lafal "siam" menjadi istilah seluruh dunia.
Para fuqoha sepakat bahwa hukum mengaborsi janin yang telah sampai seratus duapuluh hari adalah hukum membunuh manusia yang sudah dilahirkan, sekalipun ahli kedokteran mengatakan bahwa ia mempunyai penyakit atau tidak normal seperti tidak mempunyai otak atau kembar siam, kecuali jika penyakit tsb. membahayakan ibu kandungnya. Begitu pula jika aborsi tsb bukan satu-satunya solusi untuk menghilangkan penyakit tsb. seperti obat-abatan yang dapat mendapatkan menghilangkan penyakit tsb. Mereka (Fuqoha) juga mengatakan :"Jika penyakit tsb telah positif dalam kandungan seorang ibu, para dokter boleh menganjurkannya untuk mengaborsi sebelum janin tsb. melewati 120 hari". (Muhammad Ali Al-Bar, Majalah Fiqih Islami, at-Tabi' lirabithah al-alamil Islami).
Para fuqoha Syafi'iyah juga mengatakan bahwa hukum terhadap manusia yang melekat dengan orang lain seperti kembar siam, adalah hukum orang yang berbeda, masing-masing mendapatkan hukum tersendiri dalam seluruh masalah fiqih. Karena pada hakikatnya, mereka mempunyai dua ruh yang berbeda sejak dalam kandungan. Tapi, keterlambatan proses pertumbuhan dalam kandungan, membuat mereka tidak normal.
Dalam bab Shalat Jum'at, Syafi'iyah mengharuskan empat puluh orang yang masuk dalam kategori Wajib Jum'at dan kembar siam sah menempati dua orang. Dalam warisan pun mereka menempati dua orang bersaudara. Mereka juga diperbelohkan kawin. Dalam bab Wudhu', jika dua orang yang melekat bukan muhrim (seperti akibat terbakar), maka hukum anggota tubuh yang melekat, masuk dalam bab masyaqqoh (udzur) dan tidak membatalkan wudhu', adapun anggota-anggota yang lain termasuk dalam hukum muhrim dan dapat membatalkan wudhu'. Tetapi dalam bab Jenazah, jika salah satu tubuh kembar siam mengadap kiblat dan yang lain tidak, maka dibolehkan memisah mereka berdua ketika di kuburkan.
Hukum-hukum tsb dapat di rujuk kembali dalam kitab-kitab yang mengomentari (mensyarahkan) Minhajuttholibin, jika terdapat kesalahan, harap menayakan kepada El-faqir sendiri (zakimtp@gmail.com), wassalam.

Politik Islam

Institusionalisasi politik Islam

Ketika el-faqier ingin mengembalikan sebuah buku kepada petugas perpustakaan fakultas Syariah & hukum univ. Ahgaff, saya tidak langsung menyerahkan buku tsb kepadanya, setelah beberapa jam dalam perpus. (sambil baca buku-buku yang lain) buku tsb saya kembalikan, petugas itu marah, karena tidak mengembalikan buku tsb ketika awal masuk, ia berkata :"Kamu telah melanggar peraturan perpus", el-faqier pun dihukum tidak boleh meminjam buku di sana, selama satu minggu. El-faqier memang anak bandel, tidak senang dengan yang namanya peraturan atau undang-undang, apalagi mereka yang menamakan undang-undang Islam. Kadang-kadang sebuah majelis legislatif (pembuat undang-undang) menyatakan bahwa hukum dalam undang-undang mereka bersumber dari Syariah Islam, adat, penelitian dll, dan semua itu sah-sah saja, tapi yang saya herankan adalah mereka tidak terlepas dari kekhilafan, seperti membolehkan riba (bunga) deposito, mereka berpendapat bahwa akad tsb adalah transaksi baru (dalam bahasa Arab Aqd at-tamwil) dan transaksi tsb tidak bisa disamakan dengan akad tradisional. Seperti undang-undang Yaman dan Indonesia. Terus bagaimana dengan solusinya ?
Apakah perlu sebuah lembaga yang mengkaji politik Islam, kemudian mendirikan sebuah Negara Islam (atau yang sering disebut-sebut khilafah) atau sebaliknya menghilangkan pemikiran politik Islam, karena Islam hanya bersangkutan dengan ukhrawi (seperti pahala, dosa, kenikmatan dan siksa pada hari kelak nanti), dan Nabi Muhammad saw. hanya diutus untuk risalah agama bukan untuk menciptakan politik Islam. Islam tidak mengharuskan, melarang atau memerintah untuk membangun politik Islam tsb, dan semua itu hanya fenomena histori.
Sebelum el-faqier mencoba menjawab, perlu diperhatikan beberapa point. Pertama; saya tidak mengomentari tathbiq (praktek) Syariah tsb, karena saya setuju bahwa tathbiq Syariah Islam adalah unsur terpenting, apa pun nama dan bentuk dari undang-undang tsb. Kedua; pengertian politik Islam. Ketiga; el-faqier setuju bahwa don't judge him by your standars, tetapi el-faqier hanya berijtihad dan menyimpulkan faham dari beberapa sumber.

Politik dan Syariah
Imam Syafi'i pernah berkata :"Tidak ada politik kecuali yang sesuai dgn Syariah". Ibn Aqil menjawab :"Politik adalah peraturan yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat, dan jauh dari sebab kerusakan mereka, sekalipun tidak diletakkan oleh rasul dan tidak di turunkan dari langit (wahyu). Jika kamu maksud bahwa politik adalah peraturan yang tidak melanggar Syariah, maka itu benar. Tetapi, jika maksud kamu bahwa tidak ada politik kecuali yang telah dibuat oleh Syariah, maka itu salah, karena hal tsb sama dengan memvonis maksiat terhadap para sahabat Nabi saw.".
Mungkin pembaca merasa bingung kenapa sampai menyalahkan para sahabat Nabi Muhammad saw. ? Sejak zaman risalah (ketika Nabi hidup) sampai zaman kerajaan Islam, setiap pemimpin diangkat dengan mekanisme politik yang berbeda. Apakah hal tsb menunjukkan bahwa mereka hanya mengada-ngada demi kemaslahatan diri sendiri dan hal tsb tidak ada dasar dari Syariah Islam. Dalam faham El-faqier, kepemimpinan mereka adalah perkara iijtihadi. Perkara tsb diserahkan kepada pemimpin sesuai kemaslahatan masyarakat. Dari sana, politik bernegara dari Nabi Muhammad saw. dan para sahabat masuk dalam lingkup Syariah Islamiyah. Contoh sebuah politik adalah ketika Nabi Muhammad saw. membakar perniagaan para tentara yang berkhianat dengan mencuri harta rampasan perang. Menggandakan denda terhadap seorang pencuri barang yang tidak berharga. Hal tsb tentu adalah politik yang sesuai dengan maslahat pada zaman itu. Sesudah khulafa ar-rasyidin Islam menjadi milik kerajaan, jabatan kepemimpinan diwariskan turun-temurun, banyak yang mengira bahwa politik tsb adalah sebuah politik kenegaraan, dan tidak ada ikatan dengan Islam. Mungkin dapat dibenarkan jika mereka menjalankannya dengan mengikut hawa nafsu. Akan tetapi, hukum dalam Islam terbagi dua, pertama; qot'i (tidak mungkin dirubah, karena dalil yang mutawatir, shahih dan jelas spesifikasinya). Kedua; zhonni (dallil yang tidak seperti di atas). Dan saya sudah menerangkan bahwa politik dari seorang pemimpin adalah ijtihadi sesuai kemaslahatan.
Para politikus hukum pada tahun 1937 m. sudah menyepakati bahwa Syariat Islam adalah salah satu sumber dari undang-undang di dunia. undang-undang tsb tunduk dengan Syariah Islam, tetapi apakah politik tunduk dengan akal, percobaan, penelitian, adat istiadat dsb.? al-Qarafi menegaskan bahwa seorang fundamentalis berkata :"Tujuan-tujuan Syariah Islam untuk kemaslahatan dan menolak kerusakan dalam masalah ukhrawi ( seperti ritual) tidak diketahui kecuali dengan Syar'i (al-Qur'an dan sunnah). Adapun perkara yang berkaitan dengan duniawi, maka untuk mengetahuinya cukup dengan adat, penelitian dan perasangka" ia (al-Qarafi) mengkritik bahwa perkara ukhrawi betul sabaimana yang ia ucapkan, tetapi tidak semua perkara duniawi tunduk dengan penelitian dan adat istiadat. Al-Qur'an dan sunnah punya peran penting dalam perkara politik, bukankah prinsip musyawarah yang dijalankan Nabi Muhammad saw. sampai zaman Ali ra. adalah persis dengan MPR dan DPR dalam istilah Indonesia. Dan bukan suatu keharusan, bahwa mereka yang duduk sebagai dewan perwakilan rakyat dalam mencetuskan undang-undang akan sepakat dalam satu undang-undang, karena semua adalah ruangan ijtihadi.
Al-Qur'an sebagai pedoman sudah mengisyaratkan kewajiban taat terhadap pemimpin selama ia tidak menyalahkan hal-hal yang benar (qhot'i) dalam agama Islam. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 59 "wa ulil amri minkum" dalam beberapa buku tafsir seperti Tafsir at-Thabari, Ibn Katsir dll. mengatakan bahwa mereka adalah pemimpin, sultan, ulama, ahli fiqih dan agama, Abu Bakar dan Umar, sahabat Nabi Muhammad saw., muhajirin, anshar dan pengikut mereka, para cendikiawan dan pemikir, dll. At-Thabari berkata :"Boleh saja, yang dimaksud adalah semua pendapat, yaitu semua orang yang memegang amanat dalam perkara dunia dan akhirat". Ibn Katsir berkata :"Secara substantif ulil amr adalah semua pemimpin dan ulama". Al-Alusi berkata :"Secara umum, ulama mentafsirkan ulil amr secara abstrak, dengan mencakup semua pendapat, karena pemimpin adalah pengatur urusan politik dll, dan ulama adalah pemelihara Syariah". Ats-Sa'alabi berkata :"Pendapat yang utama adalah pemimpin dan ulama". Sayyid Thanthawi berkata :"Menurut pendapat yang berlaku adalah para Hakim".

Kesimpulan
Ilmu-ilmu dalam agama Islam pada zaman Nabi Muhammad saw. tidaklah mempunyai nama sebagaimana zaman-zaman berikutnya, seperti Nahwu, ilmu-limu al-Qur'an, dll. Dan tentu, tidak ada larangan untuk mendirikan sebuah lembaga politik Islam, apalgi, ketika kita menjenguk sebuah universitas di seluruh dunia yang mempunyai banyak fakultas, dengan jurusan yang berbeda-beda. Hal tersebut hanya untuk meminoritaskan universitas yang bersifat duniawi dan menghidupkan ilmu religius di saat keterpurukan moral sebuah negara yang ingin bangkit dengan dasar-dasar Islam. Rasulullah saw. bersabda :"Siapa saja yang berusaha untuk mendapatkan ilmu, maka Allah swt. akan menjamin rizkinya".

Jumat, 05 Desember 2008

Idul Adha

Jadikan ceritamu indah dan menarik dgn amal saleh dan syukur kepadaNya. Raudhatul Banjariyin Yaman mengucapkan "selamat hari besar Islam, hari raya Idul Adha 1429 h.".

Idul Adha

Jadikan ceritamu indah dan menarik dgn amal saleh dan syukur kepadaNya. Raudhatul Banjariyin Yaman mengucapkan "selamat hari besar Islam, hari raya Idul Adha 1429 h.".

Diskusi PPI

Persatuan pelajar Indonesia se Yaman cabang Hadramaut masa bakti 08-09 kembali mengadakan diskusi. Kali dgn tema eksekusi di negara Indonesia apakah sah menurut Islam?