Kamis, 07 Mei 2009

Fatwa Milik Siapa??? (1)

Fatwa Milik Siapa??? (1)


Prolog
Rasa takut terlintas di kalbu para Nahdhiyin dan ormas lain-lainnya, kubu yang pro-kontra terhadap MUI. Mengeluarkan desas desus, suara sumbang ataupun suara tong kosong di belakang dan depan umum. Karena apa? Sebut saja sebelum muncul fatwa haram rokok, sesatnya Ahmadiyah dll. Tak kalah aktual, media internet dari berbagai situs dan blog mengobarkan komentar manis, pedas, pahit dll. Di kalangan syabab (pemuda) yang serba bisa, muncul fikrah (ide, pemikiran) bagaimana kalau mereka bersaing dgn MUI. Dalam realita hidup bermasyarakat, para ulama (yang sering di sebut kiai) adalah bahan rujukan kilat dan gampang bagi mereka yang minim dalam disiplin ilmu agama. Di kancah internasional, lahir organisasi yang mencakup beberapa Negara belahan dunia yang saling bahu-membahu dalam mengatasi minimnya ulama yang berpangkat mujtahid dalam fiqih, segala konflik terkini terpecahkan, walaupun sampai terwujud fiqih aqalliyät (minoritas), sebagaimana mengorbankan taqlid dgn fatwa yang membolehkan talfiq (campur aduk madzhab dalam satu permasalahan). Umumul-balwa (hal-hal yang menjadi aktifitas secara universal), keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang adalah macam-macam kaidah yang di usung sebagai alat toleransi terhadap mayoritas masyarakat moderat yang hidup dalam demokrasi tidak terkait dgn madzhab. Flashback ke zaman sahabat, fatwa sudah muncul sejak dini, Nabi Muhammad saw. adalah Mufti pertama dalam agama Islam yang hanief. Setelah Nabi saw. wafat, interaksi sahabat -maupun secara individual atau jama'i (musyawarah, kolektif) - melanjutkan citra tersebut sebagai pewaris tahta majelis fatwa islami sedunia, sampai pangkat tsb berkurang kedigdayaannya, sedikit demi sedikit dgn minimnya ulama yang sekaliber Imam Syafi'i ra. dan menyebarnya kaum muslimin ke berbagai pelosok dan belahan dunia. Nach, siapakah orang yang layak atau ormas yang pantas berdiri sebagai mufti pada era demokrasi dan kebebasan berfikir dan memilih seperti masyarakat Indonesia?.

Fatwa dan hukum mahkamah
Norma-norma ketimuran yang lahir dari masyarakat Indonesia membuat mereka tidak melupakan term-term islami, sebut saja salat, zakat, haji, talaq dan fatwa. Dan MUI. adalah salah satu sarana dalam menyikapi sebuah kejadian dgn. landasan fiqih Islami. Fatwa secara istilah adalah menegaskan hukum agama (syariah) terhadap orang yang bertanya, tanpa terkait bahwa kejadian tsb baru terjadi.
Abdullah ِIِِِِbn Bayyah berkata dalam kitabnya Shina’atul-Fatwa :"Sebuah kejadian menerpa dua sisi, yang pertama: kejadian tsb. dapat di benturkan dgn keputusan hakim dan fatwa, dan yang kedua: permasalahan yang hanya di atasi dgn fatwa". Dalam persfektif saya, hukum qot'iud-dalälah ( esensi lafal terhadap hukum yang sudah paten) dan undang-undang negara adalah barometer antara dua macam kejadian tsb. Sebut saja ketika datang seorang laki-laki ke pengadilan dan mengucapkan talaq terhadap istrinya, dalam hal ini hakim harus memutuskan dan mufti harus berfatwa bahwa kedua pasangan suami, istri tsb. harus berpisah.
Dalam bagian yang kedua, seorang laki-laki milioner (kaya-raya) beristri seorang wanita yang beautiful atau berwibawa atau galak dsb. kadang-kadang takut untuk melakukan poligami, pada akhirnya, ia kawin tanpa diketahui istrinya dan tanpa terdata dalam catatan sipil. Dan tentunya hubungan tsb. lambat laun akan terbongkar tanpa ada yang berhak untuk memisah mereka. Sesudah laki-laki tsb. meninggal, istri pertama menolak untuk membagi warisan dgn istri simpanan tsb, masyarakat yang mengetahui pernikahan tsb. mengangkat ke pengadilan atas dasar bahwa pernikahan tsb. sah-sah saja. Dalam pengadilan istri simpanan tsb. diputuskan tidak berhak terhadap warisan, karena tidak ada bukti dalam catatan sipil bahwa ia adalah istri dari konglomerat tsb. Bukankah ini sudah melampaui batas? Padahal cukup dgn. saksi-saksi untuk menyatakan bahwa ia adalah istrinya, lantas berhak untuk mewaris. Sfesifiknya mahkamah Indonesia tidak berkutik di depan umum, untuk merealisasikan hukum Islam dan tidak ada jalan kecuali fatwa mufti yang tidak memerlukan catatan sipil. Dan kontra antara undang-undang dan fiqih Islami seperti di atas adalah bukti kesempurnaan Syariah Islam.
Kalau contoh di atas terkait dgn. keluarga, coba kita lebih menerawang ke pesta ABG. dgn pacar-pacaran dan lika-likunya. Ketika cinta terjalin antara dua pasangan, sudah pasti, mereka ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, secara kebetulan ayah dari harim (perempuan) tidak menyetujui hubungan tsb. dgn. berbagai alasan. Sang ayah juga lebih agresif dgn. menjodohkan anak perempuannya tsb. Apa yang terjadi selanjutnya? Kedua pasangan tsb. melarikan diri untuk menikah lewat hakim. Nach, bagaimana syariah dan pengadilan menanggapinya? Dalam insiden ini fiqih Islami mensyaratkan bahwa wali hakim hanya boleh menikahkan jika wali menolak untuk menikahkan anaknya padahal laki-laki tsb. pantas atau wali tsb. tidak berada di tempat perempuan tsb. sejauh dua marhalah (90 kilo kurang-lebih). Dalam hemat saya, dua pasangan tsb telah durhaka terhadap orang tuanya (mana ada ortu yang senang anaknya di bawa kabur tanpa izin) mereka berdua juga berangkat dgn perlayaran maksiat (karena durhaka atau khalwat –berduaan- tanpa ada muhrim). Nach jika pernikahan di tangan hakim adalah rukhshah (keringanan) dari syariah, tentunya wewenang hakim telah hilang sebab maksiat tsb. (Ar-Rukhshah lä tunäthu bil-ma'siyah), lebih lagi jika ayah perempuan tsb. mempunyai calon yang sesuai dgn. anaknya.
Yang perlu kita simak, bagaimana reaksi hakim pengadilan Indonesia dalam memonitornya dalam kaca undang-undang ahwal-syahksiyah (pribadi)? Realita yang saya dengar, hakim tidak terlalu peduli, pernikahan pun terjadi. Kembali ke mufti, bagaimana kepemimpinannya sebagai majelis permusyawaratan rakyat di bidang religi? Kepiawaian mufti akan teruji lagi dalam menyadarkan betapa pentingnya hukum agama. Dan akan sangat pedih bagi mufti untuk menegaskan bahwa pernikahan tsb sah, karena pelanggaran seperti durhaka terhadap orang tua yang merupakan dosa besar, kaidah saddudz-dzaräi' (melarang hal-hal yang berakibat kemunkaran) adalah salah satu bumerang bagi dua pasangan tsb. mensahkan pernikahan juga akan membuka pintu dahsyatnya hubungan antara dua remaja yang berakibat fatal. Setelah kita simak dan telaah dgn. seksama tentu kita akan merasakan pentingnya seorang mufti. Tapi, siapakah orang yang pantas bergelar mufti?
Mufti selaku pembimbing
Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul-bari mengomentari hadits riwayat imam Bukhari yang berbunyi :"Hattä idza lam yabqa a'limun, ittakhadzan-näsu ru'asä'a juhhälä, fasu'ilu fa'aftau bighairi ilmin, fadhallu wa'adhallu": hadits ini adalah dalil bahwa pangkat mufti adalah ra'is (presiden religi), nach jika mujtahid sekaliber Imam Abu Hanifah dll. sudah sirna, maka salah satu jalan yang ditempuh ulama modern adalah ijtihad kolektif. Dan setiap kali permusyawaratan tsb. secara umum dan terdiri dari sekian banyak ulama di belahan dunia, sudah tentunya, kapasitasnya lebih mkeyakinkan dan akurat, sekalipun tidak mencapai kekuatan ijma' (kesepakatan) ulama.
Jika penjelasan di atas sekilas tentang ijtihad jama'i, nach sekarang beranjak ke ijtihad individual dari seorang mufti. Ijtihad mutlak memang sangat dan sangat susah untuk dicapai dgn persyaratan yang termaktub dalam kitab-kitab kuning (buku-buku karangan ulama terdahulu). Dan yang masih tersisa adalah ijtihad juz'i (untuk sebagian hukum) yang dimiliki sebagian ulama sakarang. Begitu pula ulama yang memiliki kapasitas takhrij (menyimpulkan atau mengambil lazim dari sebuah pendapat) dan tarjih (menguatkan salah satu pendapat).
Ibn Abidin berkata :"Seorang faqih yang tidak memiliki kapasitas tahkrij dan tarjih dan hanya mengandalkan hafalan, tidak boleh berfatwa secara ijtihad, dia hanya boleh mengandalkan kutipan yang ia yakin bahwa hukum tsb mutlak tanpa ada qaid (limitasi atau syarat) dari bab lain".
Dr. bouty berkata:"Pintu yang tertutup dalam berijtihad adalah mujtahid yang menta'sis (meletakkan) ka'idah-ka'idah usuliyah, karena hal itu sudah kamal (sempurna). Adapun mempraktekkannya maka pintu tsb. tidak akan tertutup sampai kiamat". Dan supaya pembaca tidak bosan, komentar tentang syarat-syarat, martabat dan prihal mufti akan saya jelaskan dalam bagian kedua. Sekian……………………………Ditulis oleh: z_manu……………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar