Jumat, 12 Desember 2008

Politik Islam

Institusionalisasi politik Islam

Ketika el-faqier ingin mengembalikan sebuah buku kepada petugas perpustakaan fakultas Syariah & hukum univ. Ahgaff, saya tidak langsung menyerahkan buku tsb kepadanya, setelah beberapa jam dalam perpus. (sambil baca buku-buku yang lain) buku tsb saya kembalikan, petugas itu marah, karena tidak mengembalikan buku tsb ketika awal masuk, ia berkata :"Kamu telah melanggar peraturan perpus", el-faqier pun dihukum tidak boleh meminjam buku di sana, selama satu minggu. El-faqier memang anak bandel, tidak senang dengan yang namanya peraturan atau undang-undang, apalagi mereka yang menamakan undang-undang Islam. Kadang-kadang sebuah majelis legislatif (pembuat undang-undang) menyatakan bahwa hukum dalam undang-undang mereka bersumber dari Syariah Islam, adat, penelitian dll, dan semua itu sah-sah saja, tapi yang saya herankan adalah mereka tidak terlepas dari kekhilafan, seperti membolehkan riba (bunga) deposito, mereka berpendapat bahwa akad tsb adalah transaksi baru (dalam bahasa Arab Aqd at-tamwil) dan transaksi tsb tidak bisa disamakan dengan akad tradisional. Seperti undang-undang Yaman dan Indonesia. Terus bagaimana dengan solusinya ?
Apakah perlu sebuah lembaga yang mengkaji politik Islam, kemudian mendirikan sebuah Negara Islam (atau yang sering disebut-sebut khilafah) atau sebaliknya menghilangkan pemikiran politik Islam, karena Islam hanya bersangkutan dengan ukhrawi (seperti pahala, dosa, kenikmatan dan siksa pada hari kelak nanti), dan Nabi Muhammad saw. hanya diutus untuk risalah agama bukan untuk menciptakan politik Islam. Islam tidak mengharuskan, melarang atau memerintah untuk membangun politik Islam tsb, dan semua itu hanya fenomena histori.
Sebelum el-faqier mencoba menjawab, perlu diperhatikan beberapa point. Pertama; saya tidak mengomentari tathbiq (praktek) Syariah tsb, karena saya setuju bahwa tathbiq Syariah Islam adalah unsur terpenting, apa pun nama dan bentuk dari undang-undang tsb. Kedua; pengertian politik Islam. Ketiga; el-faqier setuju bahwa don't judge him by your standars, tetapi el-faqier hanya berijtihad dan menyimpulkan faham dari beberapa sumber.

Politik dan Syariah
Imam Syafi'i pernah berkata :"Tidak ada politik kecuali yang sesuai dgn Syariah". Ibn Aqil menjawab :"Politik adalah peraturan yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat, dan jauh dari sebab kerusakan mereka, sekalipun tidak diletakkan oleh rasul dan tidak di turunkan dari langit (wahyu). Jika kamu maksud bahwa politik adalah peraturan yang tidak melanggar Syariah, maka itu benar. Tetapi, jika maksud kamu bahwa tidak ada politik kecuali yang telah dibuat oleh Syariah, maka itu salah, karena hal tsb sama dengan memvonis maksiat terhadap para sahabat Nabi saw.".
Mungkin pembaca merasa bingung kenapa sampai menyalahkan para sahabat Nabi Muhammad saw. ? Sejak zaman risalah (ketika Nabi hidup) sampai zaman kerajaan Islam, setiap pemimpin diangkat dengan mekanisme politik yang berbeda. Apakah hal tsb menunjukkan bahwa mereka hanya mengada-ngada demi kemaslahatan diri sendiri dan hal tsb tidak ada dasar dari Syariah Islam. Dalam faham El-faqier, kepemimpinan mereka adalah perkara iijtihadi. Perkara tsb diserahkan kepada pemimpin sesuai kemaslahatan masyarakat. Dari sana, politik bernegara dari Nabi Muhammad saw. dan para sahabat masuk dalam lingkup Syariah Islamiyah. Contoh sebuah politik adalah ketika Nabi Muhammad saw. membakar perniagaan para tentara yang berkhianat dengan mencuri harta rampasan perang. Menggandakan denda terhadap seorang pencuri barang yang tidak berharga. Hal tsb tentu adalah politik yang sesuai dengan maslahat pada zaman itu. Sesudah khulafa ar-rasyidin Islam menjadi milik kerajaan, jabatan kepemimpinan diwariskan turun-temurun, banyak yang mengira bahwa politik tsb adalah sebuah politik kenegaraan, dan tidak ada ikatan dengan Islam. Mungkin dapat dibenarkan jika mereka menjalankannya dengan mengikut hawa nafsu. Akan tetapi, hukum dalam Islam terbagi dua, pertama; qot'i (tidak mungkin dirubah, karena dalil yang mutawatir, shahih dan jelas spesifikasinya). Kedua; zhonni (dallil yang tidak seperti di atas). Dan saya sudah menerangkan bahwa politik dari seorang pemimpin adalah ijtihadi sesuai kemaslahatan.
Para politikus hukum pada tahun 1937 m. sudah menyepakati bahwa Syariat Islam adalah salah satu sumber dari undang-undang di dunia. undang-undang tsb tunduk dengan Syariah Islam, tetapi apakah politik tunduk dengan akal, percobaan, penelitian, adat istiadat dsb.? al-Qarafi menegaskan bahwa seorang fundamentalis berkata :"Tujuan-tujuan Syariah Islam untuk kemaslahatan dan menolak kerusakan dalam masalah ukhrawi ( seperti ritual) tidak diketahui kecuali dengan Syar'i (al-Qur'an dan sunnah). Adapun perkara yang berkaitan dengan duniawi, maka untuk mengetahuinya cukup dengan adat, penelitian dan perasangka" ia (al-Qarafi) mengkritik bahwa perkara ukhrawi betul sabaimana yang ia ucapkan, tetapi tidak semua perkara duniawi tunduk dengan penelitian dan adat istiadat. Al-Qur'an dan sunnah punya peran penting dalam perkara politik, bukankah prinsip musyawarah yang dijalankan Nabi Muhammad saw. sampai zaman Ali ra. adalah persis dengan MPR dan DPR dalam istilah Indonesia. Dan bukan suatu keharusan, bahwa mereka yang duduk sebagai dewan perwakilan rakyat dalam mencetuskan undang-undang akan sepakat dalam satu undang-undang, karena semua adalah ruangan ijtihadi.
Al-Qur'an sebagai pedoman sudah mengisyaratkan kewajiban taat terhadap pemimpin selama ia tidak menyalahkan hal-hal yang benar (qhot'i) dalam agama Islam. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 59 "wa ulil amri minkum" dalam beberapa buku tafsir seperti Tafsir at-Thabari, Ibn Katsir dll. mengatakan bahwa mereka adalah pemimpin, sultan, ulama, ahli fiqih dan agama, Abu Bakar dan Umar, sahabat Nabi Muhammad saw., muhajirin, anshar dan pengikut mereka, para cendikiawan dan pemikir, dll. At-Thabari berkata :"Boleh saja, yang dimaksud adalah semua pendapat, yaitu semua orang yang memegang amanat dalam perkara dunia dan akhirat". Ibn Katsir berkata :"Secara substantif ulil amr adalah semua pemimpin dan ulama". Al-Alusi berkata :"Secara umum, ulama mentafsirkan ulil amr secara abstrak, dengan mencakup semua pendapat, karena pemimpin adalah pengatur urusan politik dll, dan ulama adalah pemelihara Syariah". Ats-Sa'alabi berkata :"Pendapat yang utama adalah pemimpin dan ulama". Sayyid Thanthawi berkata :"Menurut pendapat yang berlaku adalah para Hakim".

Kesimpulan
Ilmu-ilmu dalam agama Islam pada zaman Nabi Muhammad saw. tidaklah mempunyai nama sebagaimana zaman-zaman berikutnya, seperti Nahwu, ilmu-limu al-Qur'an, dll. Dan tentu, tidak ada larangan untuk mendirikan sebuah lembaga politik Islam, apalgi, ketika kita menjenguk sebuah universitas di seluruh dunia yang mempunyai banyak fakultas, dengan jurusan yang berbeda-beda. Hal tersebut hanya untuk meminoritaskan universitas yang bersifat duniawi dan menghidupkan ilmu religius di saat keterpurukan moral sebuah negara yang ingin bangkit dengan dasar-dasar Islam. Rasulullah saw. bersabda :"Siapa saja yang berusaha untuk mendapatkan ilmu, maka Allah swt. akan menjamin rizkinya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar