Jumat, 12 Desember 2008

Hikayat Sayyid Ar-Rifa'i

Hikayat Sayyid Ar-Rifai & Kritik Al-Gimari

Sebelum el-Faqier berangkat ke Yaman, el-faqier adalah seorang pelajar di Ponpes. Darussalam Pasayangan Martapura Kalsel. El-faqier sering mendengar kisah para aulia (wali-wali) dari Hadramaut, dll. seperti kisah Abdurrahman al-Jufri Maulal Arsy, beliau adalah wali masyhur zaman dulu. Seorang saudagar di semenanjung Arab menderita penyakit. Ia mengutus pembantunya datang kepada Sayyid Abdurrahman Maulal Arsyah untuk meminta obat.. Ketika matahari terbit, pembantu tsb. datang dan menjumpainya sedang mencangkul di Sawah. Beliau memerintahkannya untuk menunggu. Menteri tsb. heran, karena beliau tidak kembali dari pagi sampai sore. Saat matahari akan terbenam, ia kembali ke rumah. Menteri tsb langsung bertanya tentang kesibukannya tsb. sampai.meninggalkan shalat. Sayyid Abdurrahman menjawab :''Buka pintu-pintu kamar tsb''. ketika ia membuka pintu tsb. semua yang ia lihat adalah Sayyid Abdurrahman. Ia pun sadar martabat kewalian sayyid Abdurrahman. Kemudian ia meminta kepada Sayyid Abdurrahman obat untuk penyakit tsb. Sebelum pulang, ia menghadiahkan emas-emas kepada sayyid Abdurrahman, tetapi beliau menolaknya dan ia menyuruhnya untuk menengok ke arah gunung, seketika gunung tsb. berubah menjadi emas, kemudian kembali seperti gunung biasa.
Hikayat yang lain adalah ziarah Sayyid ar-Rifa'i ke Madinah dan ketika di depan kubur Rasulullah saw. ia mencium tangan Rasul saw. yang suci yang keluar dari kuburnya.
Kisah ini begitu masyhur di kalangan sufisme, tetapi al-Allamah al-Gimari mempunyai pandangan yang lain. Ia berpendapat bahwa cerita itu hanya karangan fiktif belaka, hal itu di motifasi oleh para pengikut sayyid ar-Rifa'i yang menonjolkan murabbi mereka dan menempatkannya di antara para quthub. Ar-Rifa'i tidak masyhur dengan nasab sampai ke Nabi Muhammad saw. oleh karena itu, mereka mengada-ngada cerita yang menunjukkan bahwa sayyid ar-Rifa'i memang salah satu cucu rasulullah saw. yang mempunyai martabat khusus di sisi rasulullah saw. Hal-hal lain yang menguatkan pandangannya adalah:
Ketetapan para fundamentalis bahwa berita yang seharusnya tersebar di kalangan umum secara mutawatir, tetapi hanya dikutip oleh beberapa kalangan tertentu adalah dalil ketidak absahan berita tsb. seperti seorang khatib yang jatuh dari minbar.
Para periwayat kisah tsb. tidak berkecocokan dalam laporan kisah tsb. bahkan hal tsb. menunjukkan kebatilannya.
Cerita tsb. di dasari bahwa beliau adalah seorang sayyid, sementara beliau bukanlah dzurriat dari rasulullah saw.
Berlebihan dalam susunan kisah dan penyampaian, sehingga menunjukkan kesombongan beliau, dan itu bukanlah kebiasaan beliau yang merendah terhadap orang lain.
Syair-syair yang tersusun dan tidak mungkin di ucapkan oleh baginda rasul saw.
Terbenak dalam pikiran saya, apakah kaidah pertama yang ia sampaikan adalah kaidah fiqih atau riwayat secara umum yang di terima oleh ulama ?. Dan apakah kejadian tsb. sudah memenuhi syarat untuk diriwayatkan oleh masyarakat secara umum ?. El-faqier teringat sebuah hadits pertama riwayat imam al-Bukhari, hadits pertama yang di tulis oleh al-Buhkari itu adalah hadits "Innamal a'mälu binniyät", hadits di anggap oleh muhadditsin adalah hadits Gharib Masyhur, dan hal tsb. tidak menunjukkan bahwa hadits tsb lemah. Mereka berpendapat bahwa riwayat sayyidina Umar bin Khatthab dan periwayat darinya adalah riwayat tunggal, tidak diriwayatkan oleh periwayat lain. Tetapi, setelah sampai kepada Yahya bin Sa'id, sanad hadits ini menjadi mutawatir, karena ia (Yahya) meriwayatkannya kepada 150 periwayat. Dan hadits tsb tidak kalah penting dari sebuah karamah atau mukzijat, bahkan hadits tsb masuk ke dalam 70 bab fiqih. Sayyidina Umar berkata :"Saya mendengar rasulullah saw. berkata di atas minbar" dan hanya sayyidina Umar yang meriwayatkan hadits tsb.
Hadits tsb. menunjukkan bahwa sebuah kisah yang diriwayatkan satu orang, padahal selayaknya diriwayatkan secara umum, tidak mengurangi keabsahan kisah tsb. bahkan hikayat sayyid ar-Rifa'i hanyalah sebuah kisah yang tidak perlu di tulis dalam sebuah buku. Bukankah mukzijat rasullah saw. jauh lebih ajaib dari hikayat sayyid ar-Rifa'i, apalagi dalam pemikiran wahabisme. Dan jika masyarakat lebih mengerti, maka mereka akan merealisasikan sesuatu yang lebih penting daripada membicarakan sebuah karamah.
Jika sayyid al-Gimari mengatakan :"Sebuah kisah yang dahsyat, tetapi tidak termaktub dalam buku-buku ini…", tetapi al-Gimari sendiri telah menjelaskan bahwa kejadian tsb. termaktub dalam beberapa buku, dan el-Faqier rasa itu sudah cukup sebagai referensi kisah tsb.
Al-Imam as-Shan'ani berkata :"Tidaklah semua perselisihan riwayat, mengurangi keabsahan sebuah hadits". Dan perselisihan riwayat dalam hikayat sayyid ar-Rifa'i dalam pandangan el-Faqier, sama sekali tidak menyanggah kebenaran kisah tsb. apalagi tentang lafal yang di ucapkan oleh Nabi saw. dan sayyid ar-Rifa'i. Karena, tidak harus bagi seorang periwayat untuk melaporkan kejadian seutuhnya. Di sisi lain perselisihan dalam hikayat tsb. saling menguatkan kisah tsb.
Apakah sayyid ar-Rifa'i keturunan dari Hasan dan Husain ? el-Faqier sendiri tidak berani mengomentarinya, karena menurut el-Faqier tidak ada hubungan dengan kisah tsb. sesungguhnya yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa.
Al-Gimari menganggap bahwa ucapan-ucapan atau riwayat lafal dalam kisah tsb. tidak mungkin keluar dari mulut seorang sayyid ar-Rifa'i, seperti ucapan :"Ya jaddi", beliau bukanlah sayyid, dan seandainya beliau bernasab al-Husaini, ia tidak pernah membanggakan dirinya sendiri, apalagi di depan umum… tapi, el-Faqier malah mengangap bahwa lafal-lafal tsb. adalah dasar kerendahan, kerinduan dan adabnya. Dan el-Faqier tidak pernah mengira bahwa seseorang yang hadir ketika kejadian tsb. akan menyangka bahwa sayyid ar-Rifa'i menyombongkan dirinya dengan ucapan-ucapan tsb. Al-Gimari sendiri tidak yakin dengan argumennya (bahwa sayyid ar-Rifa'i bukan al-Husaini), karena.itu ia berkata:"Ketika kejadian tsb. hadir bersama sayyid ar-Rifa'i sayyid al-Jaili dan tidak mungkin bagi sayyid ar-Rifa'i maju ke depan, membelakangi sayyid al-Jaili, karena al-Jaili adalah al-Hasani dan ar-Rifa'i al-Husaini…(an-Naqdul mubarram, hal.17)", yang el-Faqier faham, al-Gimari kembali menetapkan bahwa sayyid ar-Rifa'i adalah seorang sayyid al-Husaini.
Kerinduan sayyid ar-Rifa'i melupakan dirinya sendiri dan hal tsb. adalah situasi & kondisi khusus terhadap beliau, sampai beliau lupa sesuatu yang pantas dan baik menurut al-Gimari.
Dan bukanlah suatu keajaiban jika keluar dari ucapan rasulullah saw. syair-syair yang indah dan sesuai dengan kaidah. Adapun ayat "wamä allamnähusyi'ra" (Yasin 69) tidaklah menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak pernah mengucapkan atau mengarang syair-syair, karena lafal "fi'lul-madhi" tidak menunjukkan terus-menerus. Dan riwayat-riwayat seperti "Anan nabiyu laa kadzib, wa anabnu abdilmutthalib" adalah bukti tsb. Kesesuaian ucapan Nabi saw. dengan susunan syair-syair adalah riwayat-riwayat minoritas dan tidak menyatakan bahwa Nabi adalah seorang penyair (tafsir al-Qurthubi).
Seandainya el-Faqier menerima bahwa Nabi saw. tidak akan mengucapkan syair yang tersusun menurut kaidah, hal tsb. mungkin saja, karena riwayat syair-syair yang di sampaikan oleh al-Gimari untuk Nabi saw. memang tidak sesuai kaidah ("Wajtama'al furű'u wal-usűlu, seharusnya "Far'u"). Dan kekeliruan i'rab pada syair-syair tsb. adalah darurat syair yang sama sekali tidak berpengaruh, apalagi al-Gimari sendiri mengatakan bahwa i'rab tsb. adalah i'rab syadz. Dan menurut el-Faqier selama tidak menyalahi kesepakatan ulama Nahwu, tidak akan berpengaruh.
Catatan-catatan ini hanya sekadar pengasah otak untuk lebih kritis terhadap pendapat atau opini yang masih dalam kolom ijtihadi. El-Faqier sendiri tidak memilki argument yang kuat tentang kisah tsb. Tapi kisah tsb menurut el-Faqier sudah tersebar luas secara umum. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar