Rabu, 27 Mei 2009

Ahmad Al-Muhajir

Sayyid Imam Muhajir Ilallah
Zuhud dari harta dan tahta
(279 h.-345)

Silsilah dan nasab
Disaat kota Bashrah (Irak) dihantui teror pembunuhan demi kekuasaan politik dan kemewahan dunia, lahir seorang sayyid dari keturunan Husain, yaitu Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah Az-Zahra binti Rasul Saw. Sayyid Muhajir adalah cucu dari sulbi Rasulullah saw. yang kesembilan. lahir di Iraq pada zaman pemerintahan Abbasiyah. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas, karena musnahnya referensi-referensi yang ada, dan yang yang kami sebutkan, hanyalah pendapat yang disebutkan oleh sejarawan Muhammad Dhiya Sahab setelah menela'ah beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Sayyid Muhajir telah bertemu dengan An-Nabilisi Al-Bashri saat ia berumur empat tahun pada tahun 283 h. Tidak seorangpun yang mempertanyakan silsilah ini, ketika ia hidup. Nasab tersebut dipertanyakan kembali hanya untuk memperjelas sesudah ia Wafat dan meninggalkan keturunannya. Sebab itulah Ali bin Muhammad bin Jadid berlayar ke Iraq untuk memperkuat silsilah tersebut. Lebih dari seratus orang yang terpercaya bersaksi di kota Iraq atas nasab tersebut, begitu pula ketika musim haji di Makkah. Saat itu, tempat tumbuhnya Bashrah adalah kota yang dipenuhi para pedagang, di sana terdapat sebuah pelabuhan yang disinggahi oleh para nelayan yang membawa dagangannya ke Barat dan Timur.

Mengapa ia hijrah
Pada tahun 309 h. bergejolak fitnah-fitnah (fitnah orang kulit hitam (Zanji) dan pemberontakan kaum Qaramithah) di kota Irak, pada tahun itu pula, dibunuh Husein bin Manshur al-Khallaj di kota Bagdad. Musibah-musibah, peperangan, pembunuhan, munculnya pengikut dan pendukung bid'ah, cobaan dan ancaman terhadap sadah bani husein (cucu-cucu Rasul saw.), adalah faktor nyata yang menyebabkan mereka hijrah dari kota tsb. Kota Hadramaut bukanlah kota industri atau sumber kekayaan. Kekayaan yang melimpah dari Sayyid Muhajir sendiri ia tinggalkan di Bashrah untuk menyelamatkan diri dan agama seiring firman Allah swt.:

"ألم تكن أرض الله واسعة فتهاجروا فيها"

Bukankah bumi Tuhan swt. Sangat luas, kenapa kalian tidak hijrah.

Dan hadits:
"يفر بدين الله من الفتن"

Ia akan lari demi agamanya dari fitnah-fitnah.

Ia memilih sebuah perlayaran yang tidak sepi dari kesusahan dan kesedian. Al-Muhajir meninggalkan harta, pangkat khilafah dan memilih wadi (jurang/perkampungan di bawah gunung) yang di kelilingi gunung-gunung batu. Wadi tsb adalah Wadi Ahgaff. Beliau akhirnya berdomilisi di perkampungan husaisah (separuh marhalah dari kota Tarim). Perlayaran beliau dari Bashrah pada tahun 317 H. Pada tahun 318 H. beliau sampai di kota Madinah dan menetap selama setahun, pada tahun itu pula ia menunaikan ibadah haji di Baitullah yang saat itu kehilangan Hajar Aswad (karena dirampas oleh kaum Qaramithah, kemudian mereka kembalikan setelah dua puluh tahun). Kemudian ia melanjutkan perlayarannya ke Yaman dan Hadramaut hal ini sesuai dengan hadits Nabi "Apabila bergejolak fitnah, maka hijrahlah ke Yaman, karena negeri itu di berkahi" . Tempat pertama yang ia singgahi adalah perkampungan Jubail dan Hijrain, ia pun membeli tanah dan perkebunan di sana, kemudian ia berikan kepada Syawih (budak yang ia merdekakan). Sesudah pergi dari Hijrain, ia menetap di bukit Bani Jusyair. Tidak lama kemudian, ia berpindah dan menetap di Husaisah, inilah tempat ia di makamkan.
Kedatangan Sayyid Muhajir pada masa kepemimpinan keturunan Ziyad. Beliau hijrah dengan empat anaknya Ubaidillah, Alawi, Bashri, jadid serta kakek moyang keturunan al-Ahdal, dll. Ia berdakwah untuk melenyapkan kaum Abadhiyah yang tersebar di Hadramaut saat itu, para bangsawan pun datang ke tempatnya untuk mendengarkan nasihat-nasihatnya, para penjahat dan perampok datang kepadanya untuk bertaubat. Ketika ia datang, perkampungan Husaisah menjadi kota yang makmur dengan hidupnya sunnah-sunnah rasul saw. Sesudah wafatnya, Husaisah yang makmur dimusnahkan oleh Aqil bin isa al-Shabrathi pada tahun 839 h. Sekarang, Husaisah tidak makmur sebagaimana zaman al-Muhajir.

Hikmah dari perkataan Sayyid Muhajir
Imam At-Thabari meriwayatkan bahwa Ahmad Muhajir mengirim surat kepada sahabatnya yang berisi tentang persahabatan
وهل لي إلى ذاك القليل سبيل
فكل عليه شاهد ودليل
ألا إن إخوان الثقات قليل
سل الناس تعرف غثهم من سمينهم


Perhatikanlah, sesungguhnya kawan yang terpercaya sangatlah sedikit, adakah jalan bagiku untuk menggapai hal itu, tanyakan orang-orang, maka engkau akan tahu keburukan dan kebaikannya, semua akan bersaksi dan menghujat terhadapnya.

Hadist yang ia diriwayatkan
Dalam buku-buku sejarah dan hadits terdapat beberapa nama Ahmad bin Isa, oleh karena itu, susah menentukan hadits yang ia riwayatkan. Muhammad dhiya Syahab menulis dua hadits riwayat Sayyid Ahmad Muhajir dalam bukunya "Al-Imam Al-Muhajir". Salah satu hadits yang akan kami paparkan adalah hadits yang ia (Ahmad bin Isa) riwayatkan dari Abbad bin Ya'qub Al-Asir ia berkata Meriwayatkan kepada kami Habib bin Arthah dari Muhammad bin dzakwan dari Amar bin Khalid ia berkata meriwayatkan kepada kami Zayid bin Ali dan ia sedang memegang rambutnya, ia berkata meriwayatkan kepadaku bapakku Ali bin Husain dan ia sedang memegang rambutnya, ia berkata meriwayatkan kepadaku kakekku Ali bin Abi Thalib dan ia sedang memegang rambutnya dari Rasulullah saw. dan ia sedang memegang rambutnya :

"من آذى شعرة مني فقد آذاني، ومن آذاني فقد آذى الله، ومن آذى الله لعنه الله ملء السموات وملء الأرض"

"Siapa yang menyakiti sehelai rambutku, maka ia telah menyakitiku, dan siapa yang menyakitiku, maka ia telah menyakiti Allah, dan siapa yang menyakiti Allah, maka ia dilaknat oleh Allah seluas langit dan bumi".) (

Kamis, 07 Mei 2009

Fatwa Milik Siapa??? (1)

Fatwa Milik Siapa??? (1)


Prolog
Rasa takut terlintas di kalbu para Nahdhiyin dan ormas lain-lainnya, kubu yang pro-kontra terhadap MUI. Mengeluarkan desas desus, suara sumbang ataupun suara tong kosong di belakang dan depan umum. Karena apa? Sebut saja sebelum muncul fatwa haram rokok, sesatnya Ahmadiyah dll. Tak kalah aktual, media internet dari berbagai situs dan blog mengobarkan komentar manis, pedas, pahit dll. Di kalangan syabab (pemuda) yang serba bisa, muncul fikrah (ide, pemikiran) bagaimana kalau mereka bersaing dgn MUI. Dalam realita hidup bermasyarakat, para ulama (yang sering di sebut kiai) adalah bahan rujukan kilat dan gampang bagi mereka yang minim dalam disiplin ilmu agama. Di kancah internasional, lahir organisasi yang mencakup beberapa Negara belahan dunia yang saling bahu-membahu dalam mengatasi minimnya ulama yang berpangkat mujtahid dalam fiqih, segala konflik terkini terpecahkan, walaupun sampai terwujud fiqih aqalliyät (minoritas), sebagaimana mengorbankan taqlid dgn fatwa yang membolehkan talfiq (campur aduk madzhab dalam satu permasalahan). Umumul-balwa (hal-hal yang menjadi aktifitas secara universal), keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang adalah macam-macam kaidah yang di usung sebagai alat toleransi terhadap mayoritas masyarakat moderat yang hidup dalam demokrasi tidak terkait dgn madzhab. Flashback ke zaman sahabat, fatwa sudah muncul sejak dini, Nabi Muhammad saw. adalah Mufti pertama dalam agama Islam yang hanief. Setelah Nabi saw. wafat, interaksi sahabat -maupun secara individual atau jama'i (musyawarah, kolektif) - melanjutkan citra tersebut sebagai pewaris tahta majelis fatwa islami sedunia, sampai pangkat tsb berkurang kedigdayaannya, sedikit demi sedikit dgn minimnya ulama yang sekaliber Imam Syafi'i ra. dan menyebarnya kaum muslimin ke berbagai pelosok dan belahan dunia. Nach, siapakah orang yang layak atau ormas yang pantas berdiri sebagai mufti pada era demokrasi dan kebebasan berfikir dan memilih seperti masyarakat Indonesia?.

Fatwa dan hukum mahkamah
Norma-norma ketimuran yang lahir dari masyarakat Indonesia membuat mereka tidak melupakan term-term islami, sebut saja salat, zakat, haji, talaq dan fatwa. Dan MUI. adalah salah satu sarana dalam menyikapi sebuah kejadian dgn. landasan fiqih Islami. Fatwa secara istilah adalah menegaskan hukum agama (syariah) terhadap orang yang bertanya, tanpa terkait bahwa kejadian tsb baru terjadi.
Abdullah ِIِِِِbn Bayyah berkata dalam kitabnya Shina’atul-Fatwa :"Sebuah kejadian menerpa dua sisi, yang pertama: kejadian tsb. dapat di benturkan dgn keputusan hakim dan fatwa, dan yang kedua: permasalahan yang hanya di atasi dgn fatwa". Dalam persfektif saya, hukum qot'iud-dalälah ( esensi lafal terhadap hukum yang sudah paten) dan undang-undang negara adalah barometer antara dua macam kejadian tsb. Sebut saja ketika datang seorang laki-laki ke pengadilan dan mengucapkan talaq terhadap istrinya, dalam hal ini hakim harus memutuskan dan mufti harus berfatwa bahwa kedua pasangan suami, istri tsb. harus berpisah.
Dalam bagian yang kedua, seorang laki-laki milioner (kaya-raya) beristri seorang wanita yang beautiful atau berwibawa atau galak dsb. kadang-kadang takut untuk melakukan poligami, pada akhirnya, ia kawin tanpa diketahui istrinya dan tanpa terdata dalam catatan sipil. Dan tentunya hubungan tsb. lambat laun akan terbongkar tanpa ada yang berhak untuk memisah mereka. Sesudah laki-laki tsb. meninggal, istri pertama menolak untuk membagi warisan dgn istri simpanan tsb, masyarakat yang mengetahui pernikahan tsb. mengangkat ke pengadilan atas dasar bahwa pernikahan tsb. sah-sah saja. Dalam pengadilan istri simpanan tsb. diputuskan tidak berhak terhadap warisan, karena tidak ada bukti dalam catatan sipil bahwa ia adalah istri dari konglomerat tsb. Bukankah ini sudah melampaui batas? Padahal cukup dgn. saksi-saksi untuk menyatakan bahwa ia adalah istrinya, lantas berhak untuk mewaris. Sfesifiknya mahkamah Indonesia tidak berkutik di depan umum, untuk merealisasikan hukum Islam dan tidak ada jalan kecuali fatwa mufti yang tidak memerlukan catatan sipil. Dan kontra antara undang-undang dan fiqih Islami seperti di atas adalah bukti kesempurnaan Syariah Islam.
Kalau contoh di atas terkait dgn. keluarga, coba kita lebih menerawang ke pesta ABG. dgn pacar-pacaran dan lika-likunya. Ketika cinta terjalin antara dua pasangan, sudah pasti, mereka ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, secara kebetulan ayah dari harim (perempuan) tidak menyetujui hubungan tsb. dgn. berbagai alasan. Sang ayah juga lebih agresif dgn. menjodohkan anak perempuannya tsb. Apa yang terjadi selanjutnya? Kedua pasangan tsb. melarikan diri untuk menikah lewat hakim. Nach, bagaimana syariah dan pengadilan menanggapinya? Dalam insiden ini fiqih Islami mensyaratkan bahwa wali hakim hanya boleh menikahkan jika wali menolak untuk menikahkan anaknya padahal laki-laki tsb. pantas atau wali tsb. tidak berada di tempat perempuan tsb. sejauh dua marhalah (90 kilo kurang-lebih). Dalam hemat saya, dua pasangan tsb telah durhaka terhadap orang tuanya (mana ada ortu yang senang anaknya di bawa kabur tanpa izin) mereka berdua juga berangkat dgn perlayaran maksiat (karena durhaka atau khalwat –berduaan- tanpa ada muhrim). Nach jika pernikahan di tangan hakim adalah rukhshah (keringanan) dari syariah, tentunya wewenang hakim telah hilang sebab maksiat tsb. (Ar-Rukhshah lä tunäthu bil-ma'siyah), lebih lagi jika ayah perempuan tsb. mempunyai calon yang sesuai dgn. anaknya.
Yang perlu kita simak, bagaimana reaksi hakim pengadilan Indonesia dalam memonitornya dalam kaca undang-undang ahwal-syahksiyah (pribadi)? Realita yang saya dengar, hakim tidak terlalu peduli, pernikahan pun terjadi. Kembali ke mufti, bagaimana kepemimpinannya sebagai majelis permusyawaratan rakyat di bidang religi? Kepiawaian mufti akan teruji lagi dalam menyadarkan betapa pentingnya hukum agama. Dan akan sangat pedih bagi mufti untuk menegaskan bahwa pernikahan tsb sah, karena pelanggaran seperti durhaka terhadap orang tua yang merupakan dosa besar, kaidah saddudz-dzaräi' (melarang hal-hal yang berakibat kemunkaran) adalah salah satu bumerang bagi dua pasangan tsb. mensahkan pernikahan juga akan membuka pintu dahsyatnya hubungan antara dua remaja yang berakibat fatal. Setelah kita simak dan telaah dgn. seksama tentu kita akan merasakan pentingnya seorang mufti. Tapi, siapakah orang yang pantas bergelar mufti?
Mufti selaku pembimbing
Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul-bari mengomentari hadits riwayat imam Bukhari yang berbunyi :"Hattä idza lam yabqa a'limun, ittakhadzan-näsu ru'asä'a juhhälä, fasu'ilu fa'aftau bighairi ilmin, fadhallu wa'adhallu": hadits ini adalah dalil bahwa pangkat mufti adalah ra'is (presiden religi), nach jika mujtahid sekaliber Imam Abu Hanifah dll. sudah sirna, maka salah satu jalan yang ditempuh ulama modern adalah ijtihad kolektif. Dan setiap kali permusyawaratan tsb. secara umum dan terdiri dari sekian banyak ulama di belahan dunia, sudah tentunya, kapasitasnya lebih mkeyakinkan dan akurat, sekalipun tidak mencapai kekuatan ijma' (kesepakatan) ulama.
Jika penjelasan di atas sekilas tentang ijtihad jama'i, nach sekarang beranjak ke ijtihad individual dari seorang mufti. Ijtihad mutlak memang sangat dan sangat susah untuk dicapai dgn persyaratan yang termaktub dalam kitab-kitab kuning (buku-buku karangan ulama terdahulu). Dan yang masih tersisa adalah ijtihad juz'i (untuk sebagian hukum) yang dimiliki sebagian ulama sakarang. Begitu pula ulama yang memiliki kapasitas takhrij (menyimpulkan atau mengambil lazim dari sebuah pendapat) dan tarjih (menguatkan salah satu pendapat).
Ibn Abidin berkata :"Seorang faqih yang tidak memiliki kapasitas tahkrij dan tarjih dan hanya mengandalkan hafalan, tidak boleh berfatwa secara ijtihad, dia hanya boleh mengandalkan kutipan yang ia yakin bahwa hukum tsb mutlak tanpa ada qaid (limitasi atau syarat) dari bab lain".
Dr. bouty berkata:"Pintu yang tertutup dalam berijtihad adalah mujtahid yang menta'sis (meletakkan) ka'idah-ka'idah usuliyah, karena hal itu sudah kamal (sempurna). Adapun mempraktekkannya maka pintu tsb. tidak akan tertutup sampai kiamat". Dan supaya pembaca tidak bosan, komentar tentang syarat-syarat, martabat dan prihal mufti akan saya jelaskan dalam bagian kedua. Sekian……………………………Ditulis oleh: z_manu……………………….

Tidak Ada Kecuali Wahyu

Tidak Ada Kecuali Wahyu

Tegar, keras dan penuh wibawa adalah ciri khas rohis, khutbah, ceramah, kultum, dll. dari ulama Hadhramaut. Setiap hari Jum'at Masjid Ar-Raudhah –masjid yang biasa di isi pelajar Darulmusthafa dan sebagian mahasiswa kuliah Syariah Dan Hukum Ahgaff- menjadi saksi sebuah khutbah yang indah dan berkesan, syeikh Umar al-Khatib selaku khatib mengupas tentang bagaimana Nabi Muhammad saw. Sebelum diutus sebagai rasul. Ia (Nabi) dengan kejujurannya memikat hati masyarakat, dengan keikhlasannya beliau hidup dengan usaha sendiri, sempat mengembala kambing dan berdagang untuk Khadijah ra. yang kemudian menjadi istri tercintanya.
Dalam Hadits hadits yang shahih, setelah menikah, sebelum menerima wahyu ia (Nabi) beribadah di goa hira. Suatu hari, datang Malaikat Jibril dan berkata:"Iqra'" Nabi pun takut dan menjawab :"Aku tidak pandai membaca", kemudian ia (Jibril) pegang erat badan Nabi sampai ia (Nabi) merasa lemas, kemudian ia lepas, dan hal ini terulang tigakali, Kemudian Jibril menyampaikan wahyu :"Iqrabismirabbika…". Nabi pun pulang dgn rasa takut dan berkata kepada Khadijah ra.:"Selimuti Aku, selimuti aku". Dan ia ceritakan kejadian tsb kepada istrinya dgn rasa takut yang mendalam. Ia (Khadijah) berkata :"Tidak, demi Allah swt. tidak akan ia (Allah) menghina dan menyiksamu, engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, membantu fakir miskin, menjamu tamu, menolong orang yang kena musibah". Khadijah ra. merupakan istri yang bijak ia mengerti dan memahami sikon Nabi, bahwa orang yang telah datang kepadanya bukanlah dari makhluk manusia, dan itu terlihat dari muka Nabi yang bercahaya, tidak terlintas di wajahnya suatu kobohongan, kemudian ia (Khadijah) pergi bersama Nabi untuk menemui pamannya Waraqah bin Naufal –ia adalah orang yang berpegang teguh dengan agama nasrani yang hakiki- sesudah Khadijah bercerita kepadanya, Waraqah menjawab :"Ia adalah Namus (Jibril) yang datang kepada Musa, alangkah senang hatiku, jika aku masih hidup, ketika mereka mengeluarkanmu", Nabi terheran dan berkata:"Apakah benar mereka mengeluarkanku", Waraqah menjawab :"Benar, alangkah senang hatiku, jika aku menjadi penolongmu, ketika masyarakat dan keluargamu mengusirmu". Nabi pun merasa sedih dengan keluarganya, sementara wahyu, tidak kunjung turun kepadanya, sampai ia berangan untuk tidak menerima wahyu. Suatu hari, ia pergi ke gunung tanpa diketahui istrinya Khadijah. Ketika itu, terdengar suara, Nabi pun menoleh ke depan, belakang dan samping, sampai ia tahu bahwa suara tsb dari langit, kemudian ia lihat Jibril duduk di atas kursi dengan rupanya yang asli. Nabi pun kembali ke rumahnya dan berkata kepada istrinya :"Selimuti aku, Selimuti aku", sampai turun kepadanya wahyu "Yäayuhalmuddatsir Qum fa'andzir…". Yang ingin saya kutip dari sini adalah Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang Quraiys yang buta huruf, dan bukan pujangga yang pandai merangkai kata dan syair. Ia tidak pernah mengutip al-Qur'an dari orang lain seperti Waraqah bin Naufal.
Maka hati-hatilah! banyak siaran media televisi, Koran, internet ataupun buku-buku karangan orientalis barat yang sudah mengarah dakwah kekufuran. Tidak ada pencemaran terhadap Nabi saw. kecuali sama dengan apa yang telah diperbuat kaumnya pada masa hidupnya. Ingatlah, bahwa kita mempunyai sumber yang jauh lebih akurat dan shahih seperti al-Qur'an dan sunnah (seperti Shahih bukhari dan Muslim), saya teringat dalam satu hadits, sebelum masuk ke medan pertempuran, Nabi saw. menunjuk kepada seorang lelaki bahwa ia penghuni neraka, seorang sahabat terkejut dan meninggalkan majlis rasulullah saw. Ketika peperangan selesai, sahabat tersebut mengelilingi medan peperangan dan mencari lelaki yang telah Nabi isyaratkan, tidak lama kemudian, ia melihat lelaki tsb sedang sakit parah dengan luka-lukanya, seketika ia menusukkan pedang ke tubuhnya sampai menembus badannya, sahabat tsb akhirnya datang dan menceritakan bahwa lelaki tsb tewas dgn bunuh diri. Nach, kebenaran Nabi saw. bahwa ia tidak mengatakan sesuatu kecuali dari wahyu begitu yakin dalam diri sahabat tersebut, bagaimana dgn kita?.
Dalam hadits lain: Sebelum Nabi dan sahabat berencana ke Makkah untuk Umrah, Rasulullah saw. Bersabda:"Kalian akan thawaf ke Masjidil-haram". Ketika mendekati kota Makkah, kaum musyrikin menahan Rasul dan sahabat untuk thawaf dan berjanji akan mengijinkan mereka pada thn yang akan datang, Umar bin Khattab ra. Berkata:"Apakah orang yang terbunuh dari mereka masuk neraka? Dan orang yang terbunuh dari kaum muslim masuk surga", Rasulullah saw. menjawab:"benar, dan kalian akan thawaf di Masjidil-haram". Umar bin Khattab ra. merasa belum puas, sampai Abubakar As-Siddiq berkata:"Rasulullah tidak mengatakan bahwa kita akan thawaf pada thn ini, tetapi kita akan thawaf ke Masjidil-haram". Apa masih belum yakin dengan aktual dan terpercayanya sabda Nabi saw?. Hemat saya, sering-seringlah mendengar syirah dzatiyah rasulullah saw. (perjalanan dan kepribadian baginda Nabi kita) apalagi Rasul saw. sudah menyampaikan :"Man ahbbani käna ma'I fil-jannah" (siapa yang mencintaiku dia akan bersamaku dalam surga) bukan hanya masuk surga, tapi bersama Nabi, hebatkan!!!!!!
>>>…Dikutip oleh: zMaNuTd…<<

Skripsiku

بسم الله الرحمن الرحيم

((المقدمة))

الحمد لله القوي المتين، وأحكم الحاكمين القائل:"فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين" {التوبة: 122}، وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله، وأصلي وأسلم على النبي الأمين الحبيب عند رب العالمين القائل:"ومن يرد الله به خيرًا يفقهه في الدين"( )، وعلى آله وأصحابه من على نهجه القويم سالكين، وإلى صراط مستقيم هادين.
أما بعد:
فلما كان من متطلبات كلية الشريعة والقانون جامعة الأحقاف بتريم – حضرموت، الجمهورية اليمنية - الجمع والنقل لتدوين مذهب الإمام الشافعي رحمه الله جاءني هم وغم؛ لأني لست بمستوى حامل الفقه لقلة بضاعتي وضعف همتي في ذلك. وبعد أن قرره رئيس قسم الفقه وأصوله الدكتور أمجد رشيد بحث التخرج للمستوى الأخير، وكانت المسائل المطلوبة من ضمن نصوص منهاج الطالبين، وهو قوله "اختلفا في قدر مهر أو صفته تحالفا، ويتحالف وارثاهما ووارث واحد والآخر، ثم يفسخ المهر ويجب مهر مثل، ولو ادعت تسميته فأنكرها تحالفا في الأصح، ولو ادعت نكاحها ومهر مثل فأقر بالنكاح وأنكر المهر أو سكت فالأصح تكليفه البيان، فإن ذكر قدرًا وزادت تحالفا، وإن أصر منكرًا حلفت وقضى لها" فبدأت مستعينًا بالله في البحث مع رجاء الفوائد المستفادة حينئذ. ثم بمناسبة الموضوع الذي طرح عليّ في "التحالف عند التنازع في المهر"، سميت هذا البحث بذلك.
ومن خلال البحث نجد المشاكل والقصور التي لم تزل أو قد زالت، ومن ذلك قلةُ المراجع وعدم توفرها في المكتبة عندنا في كلية الشريعة والقانون، وتحديد الكتب لغير المعاصرين - وفي نظري الاستعانةُ ببعض كتبهم ضروريٌ للتعبير العصري وفهم نصوص المتقدمين -، وضرورة الاستيعاب والفهم بموضوع البحث حوالي خمسين كتاباً مع انتشار بعض النصوص المطلوبة في أبواب أخرى. وعندي ملاحظات، أولًا: لا بد لمن تقوم عليه المسؤولية في تدوين هذا المذهب أن يجمع بعض الملاحظات من نصوص الأبحاث التي قد نقلت في غير أبوابها، أو النصوص التي لا يختص ذكرها في باب دون باب، وذلك مثل كيفية اليمين والأحكام العامة للنظر. وثانيا: أن ينصح للطلاب أن ينظر ويناقش مع المشرف المشاكل في نصوص المتقدمين.
وهذا البحث، ما هو إلا بحث قصير، وليس لي إلا النقل والجمع، فإن كان النقل صحيحًا فنرجو أن يكون موجب الخلاص، وإن زلت فيه القدم فإن الإنسان محل النسيان والخطأ، ونرجو ممن يطلع عليه أن يصلحه بعد التأمل. وعسى أن يختم الله لي ولمشايخي ولوالدي ولمن أحسن إلي بخير ولطف، وأن يرزقني وإياهم علمًا نافعًا، وعملًا صالحًا مقبولًا، وقلبًا خاشعًا متواضعًا، وإخلاصًا في القول والعمل سرًا وعلانية، وفي ذلك قيل:
أخلص وذا أن لا تريد بطاعة
لا تظهرنّ فضيلة كي تعتقد
إيمان مرء لا يكون تكاملا
فيكون مدحهم وذمهم سوا
عمل لأجل الناس شرك تركه
إلا التقرب من إلهك ذي العلا
لا تبرزنّ لينكروك رذائلا
حتى يرى ناساً بإبْل مثلا
لم يخش لومة لائم في ذي العلا
للناس ذاك هو الرياء سبهللا


اللهم لا سهل إلا ما جعلته سهلًا، وأنت تجعل الحزن إذا شئت سهلًا، اللهم يا ميسر كل عسير، ويا جابر كل كسير، ويا مغني كل فقير، يسر علينا كل عسير، فتيسير العسير عليك يسير، وأعوذ برضاك من سخطك، وبمعافاتك من عقوبتك، لا أحصي ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك.
نويت التعلم والتعليم، والتذكر والتذكير، والنفع والانتفاع، والإفادة والاستفادة، والحث على التمسك بكتاب الله وسنة رسوله، والدعاء إلى الهدي، والدلالة على الخير ؛ابتغاء وجه الله ومرضاته وقربه وثوابه، فلا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم.

ويشتمل هذا البحث على الخطة التالية:
• المبحث الأول في اختلاف الزوجين في قدر المهر المسمى.
o وفيه فروع: الفرع الأول في صفة التحالف.
• وفيه مسألتان:
o المسألة الأولى: إذا ثبت تحالف الزوجين.
o المسألة الثانية: قد تقدم ثبوت تحالفهما.
الفرع الثاني فيما يترتب على التحالف.
• وفيه مسألتان:
o المسألة الأولى: إذا تحالف الزوجان.
o المسألة الثانية: إذا بطل المهر المسمى.
• المبحث الثاني في دعاوى الزوجة تسمية المهر.
o وفيه فروع: الفرع الأول في دعوى التسمية من غير نقد البلد أو أقل من مهر المثل.
• وفيه مسألتان:
o المسألة الأولى: إذا ادعت الزوجة تسمية من غير نقد البلد.
o المسألة الثانية: إذا ادعى الزوج تسمية.
الفرع الثاني في دعوى التفويض.
• وفيه مسألتان:
o المسألة الأولى: إذا ادعت الزوجة تسمية وادعى الزوج.
o المسألة الثانية: إذا ادعى أحدهما التفويض.
• المبحث الثالث في ادعاءات الزوجة النكاح ومهر المثل.
o وفيه فروع: في ادعاء الزوجة مع نفي الزوج أو سكوته.
الفرع الأول: إذا ادعت الزوجة نكاحًا بمسمى.
الفرع الثاني: إذا ادعت نفي المهر في العقد.
وقبل ذلك أبدأ بالتمهيد في بيان بعض الاصطلاحات في الفقه الشافعي، والاصطلاح الخاص لي في الأسلوب والترتيب، ثم نختم بخاتمة في خلاصة ونتيجة البحث. فهذا أوان الشروع في البحث مستعيناً بالله إنه بالقبول جدير.

((تمهيد))
جاءت في ضمن بحثي ألفاظ مثل أصحابنا، والطريقة، والوجه، ومقابل الصحيح، والنص، والأصح، والقاضي، والإمام، وقيل، ويحكى، وقضيته، ونقل، وعلى المعتمد وغيرها. وسأبين ذلك كما الآتي:
1. "النص" جاء النص بلفظ نصه، وكذا كلامه، والمراد به هنا نص الإمام الشافعي رحمه الله، وهو يشعر بأن الخلاف فيه متيقن من أقواله، وأن مقابله قول ضعيف أو قول مخرج.
2. "أصحابنا" أي أصحاب الشافعي رحمه الله الذين سلكوا طريقته في الاجتهاد وقلدوه، وهو يشمل أئمة المذهب من المتقدمين والمتأخرين إلى الآن، لكنه يراد بهم أصحابه المتقدمون فقط.
3. "الأقوال" تشعر بأن في المسألة خلافاً، وأن الخلاف من أقوال الإمام الشافعي رحمه الله، وأن إحداها قول رجحه الأصحاب أو النص.
4. "المشهور" يشعر بأن في المسألة خلافاً، وأن الخلاف من أقوال الإمام الشافعي رحمه الله، وأنه الراجح، وأن مقابله غريب لضعف مدركه.
5. "الطريقة" أو "الطرق" أي اختلاف الأصحاب في حكاية المذهب.
6. "الأصح" تشعر بأن في المسألة خلافاً، وأنه الراجح، وأن مقابله صحيح لقوة دليله، والخلاف فيما بين الأصحاب.
7. "الوجه" أو "الوجهين" أو "الأوجُه"، وهي تشعر بأن في المسألة خلافا، وأن الخلاف فيما بين الأصحاب، وأن القول الراجح معبر بالأصح، ومقابله صحيح، فإن كان التعبير بالوجهين ففي المسألة قولان فقط، وإن كان بالأوجه فأكثر من قولين.
8. "مقابل الصحيح" يشعر بأن في المسألة خلافاً، وأن هذا القول فاسد، وأن الصحيح هو الراجح، وأن الخلاف فيما بين الأصحاب.
9. "قيل" يشعر بأن في المسألة خلافاً، وأن هذا القول ضعيف، وأن الخلاف فيما بين الأصحاب، وأن مقابله الأصح أو الصحيح.
10. "يحكى" هذا يشعر بأن في المسألة خلافاً، وأن الحاكي لا يوافق القول المحكي، وربما يتعقبه بعد.
11. "نقل" يشعر بأن في المسألة خلافاً ، وأن الناقل غالباً ارتضاه وسكت عليه.
12. "قضيته" أو يقتضيه، والمراد بها الدخول في الحكم ليس على سبيل التصريح، فهي رتبة دون الصريح فوق الظاهر، ولا يدل على أن القائل يوافقها؛ لأن الدلالة محتملة.
13. "وقد يقال" من صيغ الاعتراض، و"على المعتمد" من ألفاظ الترجيح.
14. "القاضي"، والمراد به القاضي حسين كما ستأتي ترجمته في الهامش. و"الإمام"، والمراد به إمام الحرمين أبو المعالي عبد المالك الجويني كما ستأتي ترجمته في الهامش( ).
كما أن ترتيب الكتب في التعليق حسب ترتيب عصر المؤلفين، وهي منقسمة على أربع مجموعات: كتب الإمام الشافعي، وكتب المتقدمين، وكتب الشيخين النووي والرافعي، وكتب المتأخرين. وقد اقتصرت عندما قلت - على سبيل المثال - حاشية الشرواني فهي حاشيته على التحفة، وحاشية عميرة، فهي حاشيته على كنز الراغبين للمحلي، وهكذا، وربما لم أقتصركحاشية ابن القاسم على التحفة للالتباس بحاشيته على الغرر البهية، وقد عرف ذلك في ثبت المراجع، وإذا وجدت نصوص المسألة في أكثر من ستة كتب قدمت في الهامش كتب الشيخين ثم شروح المنهاج بحسب ما أشار إليه رئيس قسم الفقه وأصوله والمشرف إلا إن بدت في كتب أخرى صيغ الترجيح أو نص المسألة بقائليها، وربما اقتصرت بذكر خمسة كتب فقط، والله أعلم.

((المبحث الأول))
في اختلاف الزوجين في قدر المهر المسمى

إذا اختلف الزوجان في قدر مهر( ) مسمى( ) أَو صفته( ) الشاملة للجنس( ) والصحة وضدها( ) والحلول والتأجيل وقدر الأجل( ) أو عينه( ) قبل الدخول أو بعده ( ) مع بقاء الزوجية أو زوالها( )، وكان ما يدعيه الزوج أقل( ) كأن قالت:"بألف دينار" فقال:"بل بألف درهم" أو قالت:"بألف صحيحة" فقال:"بل بمكسرة" أو قالت:"بحال" فقال:"بل بمؤجل" أو قالت:"بمؤجل إلى سنة" فقال:"بل بمؤجل إلى سنتين"، ولا بينة لأحدهما أو تعارضت بينتاهما( ) تحالفا( )، والدليل على ذلك قوله  :"البينة على المدعي واليمين على من أنكر"( )؛ لأن كل واحد من الزوجين مدعى عليه فكانت عليه اليمين( ).
ثم هل التحالف عند الاختلاف السابق من وارثيهما أو وارث أحدهما والآخر كتحالف الزوجين ؟ قضيته أنه كتحالف الزوجين( )، وهو كذلك( )، إلا في شيء واحد، وهو أن الزوجين يحلفان على البت في النفي والإثبات، والوارث يحلف على البت في الإثبات، ونفي العلم في النفي ( ) على القاعدة في الحلف على فعل الغير، وهذا هو المشهور( ).
وقيل: يحلف على البت في النفي والإثبات جميعاً( ) نقله الرافعي( ) عن أبي بكر ابن داود الصيدلاني( ).

((فروع))

((الفرع الأول)) في صفة التحالف
وفيه مسألتان:
((المسألة الأولى))( )
إذا ثبت تحالف الزوجين فإنهما يتحالفان عند الحاكم، فإذا حضراه فمن يبدأ باليمين ؟، اختلف أصحابنا فيه على ثلاثة طرق( ):
أحدها: أن المسألة في تحالف الزوجين والمتبايعين على ثلاثة أقاويل:
القول الأول: أنه يبدأ الحاكم بإحلاف البائع، والزوجة على ما يقتضيه نصه في البيوع( ).
والقول الثاني: أنه يبدأ بإحلاف الزوج، والمشتري على ما يقتضيه نصه في الصداق( ).
والقول الثالث: أن الحاكم بالخيار في البداية بإحلاف أي الزوجين شاء على ما يقتضيه كلامه في الدعوى والبينات( ).
والطريقة الثانية - وهي طريقة أبي حامد المروزي( )- : أن المسألة على قول واحد، وأن الحاكم بالخيار في البداية بإحلاف أي الزوجين( ).
والطريقة الثالثة - وهي طريقة أبي إسحاق المروزي( )- : أن حكم المسألتين مختلف، وأنه يبدأ في اختلاف الزوجين بإحلاف الزوج( )؛ لقوة جانبه بعد التحالف ببقاء البضع له( )، وفي اختلاف المتبايعين بإحلاف البائع( ).
وقيل: يقرع بينهما. والخلاف في الاستحباب( )، وقيل: في الاستحقاق( ).
((المسألة الثانية))
قد تقدم ثبوت تحالفهما ومن الذي يبدأ الحاكم بإحلافه، فهل يحلف كل واحد منهما يمينًا واحدة أم يمينين؟ اختلف أصحابنا على وجهين:
الوجه الأول - وهو قول كثير من أصحابنا - : أنه يحلف كل واحد منهما يميناً واحدة تجمع النفي والإثبات؛ لأنه أسرع إلى الفصل( ). وعلى هذا ففي كيفية يمينه وجهان:
أحدهما: أنه يصرح بالابتداء بالنفي، ثم بالإثبات.
وثانيهما: أنه لا يصرح بالنفي، ويصرح بالإثبات الدال على النفي( ).
والوجه الثاني - وهو قول أبي العباس ابن سريج( ) - : أنه يحلف كل واحد منهما يمينين، يمينا للنفي، ثم يمينا للإثبات( ).


((الفرع الثاني)) فيما يترتب على التحالف
وفيه مسألتان:
((المسألة الأولى))
إذا تحالف الزوجان يفسخ المهر المسمى( ) ويبقي النكاح بحاله، وأما الذي يجب لها:
1. فالمشهور أنه يجب لها مهر مثل( ) وإن زاد على ما ادعته( )؛ لأن التحالف يسقط اعتبار المسمى فصار الاعتبار بمهر المثل، ولأنه يوجب رد البضع، وهو متعذر فوجبت قيمته، وهو مهر المثل( ).

2. وقال أبو علي ابن خيران( ):"إن كان مهر المثل أكثر مما تدعيه لم تستحق إلا بقدر ما ادعت( )؛ لأنها غير مدعية للزيادة( )، ويحكم لها بمهر المثل إن كان مثل ما ادعته أو أقل"( )، ويحكى عن ابن الوكيل( ).
3. وقال ابن الصباغ( ): ينبغي أن يقال – إذا قلنا: ينفسخ في الظاهر دون الباطن- :"لا تستحق إلا أقل الأمرين من مهر المثل أو ما تدعيه"( ).


((المسألة الثانية))
إذا بطل المهر المسمى فهل ينفسخ بنفس التحالف أو بالفسخ ؟ فقد اختلفوا فيه على وجهين:
أحدهما: أنه لا ينفسخ بنفس التحالف، وهو الصحيح( )؛ لأن البينة أقوى من اليمين بل إن تراضيا فذاك وإلا فيفسخه كلاهما أو أحدهما أو الحاكم( ). وقيل: إنما يفسخه الحاكم؛ لأنه فسخ مجتهد فيه فلا يفسخ أحدهما، وصححه جمع( ).
وثانيها: وهو مقابل الصحيح: أنه ينفسخ بنفس التحالف( ).


***
((المبحث الثاني))
في دعاوي الزوجين تسمية المهر

لو ادعت الزوجة تسمية( ) لقدر( ) أَكثر من مهر مثلها( ) فأنكر الزوج ذكرها لها ولم يدّع تفويضاً( ) ولم يكن ترك التسمية يفسد النكاح( ) تحالفا( ) في الأصح( ).
والوجه الثاني ما قاله القاضي( ): يصدق الزوج بيمينه؛ لموافقته للأصل، ويجب مهر المثل( ).
فإن أصر على الإنكار لم ترد عليها اليمين بل يؤمر بالحلف أو البيان( )، ولو حلف أحدهما ونكل الآخر حكمنا بيمين الحالف، ولو أقام أحدهما البينة حكم بموجبها( ).
ولو أقاما بينتين فعن ابن سريج وجهان:
1- أحدهما: أن بينة المرأة أولى لاشتمالها على الزيادة( ).
2- وثانيهما: أنهما متعارضان، فإن قلنا:"بالتساقط" فكأن لا بينة فيتحالفان( )، وإن قلنا:"يقرع" فهل يحتاج من خرجت قرعته إلى اليمين ذكروا فيه وجهين:
أ‌- أحدهما: لا، والقرعة مرجحة لبينته.
ب‌- وثانيهما: نعم، والقرعة تجعل أحدهما أحق باليمين فيحلف من خرجت قرعته أن شهوده شهدوا بالحق، ثم يقضى له( ).

((فروع))

((الفرع الأول)) في دعوى التسمية من غير نقد البلد أو أقل من مهر المثل.
وفيه مسألتان:
((المسألة الأولى))
إذا ادعت الزوجة تسمية من غير نقد البلد أو معيناً لتعلق الغرض بأعيان الأموال ولو أنقص من مهر المثل( ) فأنكرها الزوج تحالفا( ).


((المسألة الثانية))
إذا ادعى الزوج تسمية لقدر أقل من مهر المثل( ) أو من غير نقد البلد أو لعين معينة( ) فأنكرت ذكرها ولم تدّع تفويضًا( ) تحالفا( ) على الأصح( ). وقيل: القول قولها( ).

((الفرع الثاني))
في دعوى التفويض
وفيه مسألتان:
((المسألة الأولى))
إذا ادعت الزوجة تسمية وادعى الزوج التفويض فالأصل عدم التسمية من جانب وعدم التفويض من جانب فيحلف كل منهما على نفي مدعى الآخر( ) تمسكاً بالأصل( )، فإذا حلفت وجب لها مهر المثل( ).

((المسألة الثانية))
إذا ادعى أحدهما التفويض والآخر السكوت عن المهر؛ صدق الآخر بيمينه( )؛ لأن الأصل عدم التفويض فيجب لها مهر المثل( ). وقطع البغوي( ) في التعليق بالتحالف( ).


***
((المبحث الثالث))
في ادعاء الزوجة النكاح والمهر

لو ادعت الزوجة نكاحاً ومهر مثل فأقر الزوج بالنكاح وأنكر المهر أو سكت( )، ولم يدّع تفويضًا( )، ولا إخلاء النكاح عن ذكر المهر( )؛ فالأصح عدم سماع ذلك منه، وتكليفه البيان( ) لمهر( ) مثل( )، فإن ذكر قدرًا وزادت تحالفا( )؛ لأنه اختلاف في قدر المهر( )، وإن أصر منكرًا أو ساكتًا( ) حلفت اليمين المردودة وقضى لها( )، ولا يقبل قولها ابتداء؛ لأن النكاح قد يعقد بأقل متمول( ).
والوجه الثاني: أنه لا يكلف بيان مهر، والقول قوله بيمينه: أنها لا تستحق عليه مهراً؛ لأن الأصل براءة ذمته( ).
والوجه الثالث ما قاله القاضي، وبه جزم الإمام( ):"لها مهر المثل فالقول قولها بيمينها؛ لأن الظاهر معها( ).

والوجه الرابع الأظهر عند الغزالي( ): التحالف( )؛ لأن إنكار أصل المهر أبلغ من إنكار بعضه، فوجب التحالف.
((فروع))
في ادعاء الزوجة مع نفي الزوج أو سكوته
وفيه فرعان:
((الفرع الأول))
إذا ادعت الزوجة نكاحاً بمسمى قدر المهر أولاً فقال الزوج:"لا أدري" أو سكت فإنه لا يكلف بياناً على المعتمد( ) بل يحلف على ما نفي ما ادعته، ويجب لها مهر المثل( )، فإن نكل حلفت وقضي لها( ).
وقال الإمام:"ظاهر ما ذكره القاضي أن القول قولها؛ لأن النكاح يقتضي مهر المثل"( ).

((الفرع الثاني))
إذا ادعت نفي المهر في العقد أو السكوت عنه فيه ووافقها على ذلك أو ادعت تسمية فاسدة وأجاب بنفي المهر في العقد أو السكوت عنه فيه أو وافقها عليها فالواجب في جميع ذلك مهر المثل اتفاقاً ولا حاجة إلى تكليف بيان ولا إلى تحالف ولا حلف أيضا( ).

هذا آخر ما يسر الله لي جمعه ونقله لتدوين مذهب الإمام الشافعي رحمه الله فعسى أن يتقبل مني وينفعني والمسلمين به، وأشير إلى أن هذه المسائل تنقسم إلى قسمين، ولكل قسم طالب يجمع وينقل المطلوبات، فالطرف الأول هو من ضمن متطلباتي كبحث التخرج، هذا، وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم، والحمد لله رب العالمين.


***

((خاتمة))
في خلاصة ونتيجة البحث

خلاصة ونتيجة البحث:
وتتلخص المسائل كلها فيما يلي:
1. إذا تنازع الزوجان في قدر المهر المسمى أو صفته ولا بينة أو تعارضت بينتاهما، فإن كان ما يدعيه الزوج أقل من المهر الذي ادعته فالحكم هو التحالف لحديث:"البينة على المدعي واليمين على من أنكر".
2. وأن الحكم كذلك إذا اختلف وارثاهما أو وارث أحدهما والآخر إلا أن الزوجين يحلفان على البت في النفي والإثبات، والوارث يحلف على البت في الإثبات، ونفي العلم في النفي.
3. وفي صفة التحالف أن الذي يبدأ باليمين هو الزوج، وأنه أي اليمين واحدة تجمع النفي والإثبات.
4. ويترتب على التحالف سقوط المهر المسمى ووجوب مهر المثل على المشهور.
5. فإذا بطل المهر المسمى فالصحيح لا ينفسخ بنفس التحالف بل إن تراضيا فذاك وإلا فيفسخه كلاهما أو أحدهما أو الحاكم.
6. وإذا ادعت الزوجة مهرا مسمى أكثر من مهر المثل فأنكره الزوج تحالفا في الأصح لأنه راجع إلى الاختلاف في قدر المهر.
7. وإذا ادعت النكاح ومهر المثل فأقر الزوج بالنكاح وأنكر المهر فالأصح عدم سماع الدعوى وتكليف الزوج بيان المهر.

((تتمة)) في نظم المسائل الثلاث والمدرسين في كلية الشريعة والقانون.
وقد نظمت المسائل الثلاث من بحر الطويل بقولي:
خلاف من الزوجين مهرا تعاقدا
بلا بينات منهما أو تعارضت
وآثاره وجوب مهر لمثله
ولو ادعت مهراً مسمى لأكثر
حكموا تحالفًا لِما في الأصح لو
ولو ادعت نكاحه نحلة المثل
أصح الأقاويل الذي قد ترجّح
فهذي مسائلٌ ثلاث تحالفا




وما يدعى زوج قليلاً من المهر
فحكمٌ تحالفٌ يمينًا بلا نكر
وإن زاد فيه خلفهم للتذاكر
من المثل معْ إنكاره فلتصور
مصرًا على الإنكار حلفاً ليؤمرِ
أقر النكاح أنكر المهر بالذكر
بيانٌ على زوج لمهر كما يجري
وقد نصها الفقيه يحي تدبرِ

ونظمت أسماء المدرسين من المستوى الأول إلى المستوى الخامس ممن أخذت عنهم وقرأت عندهم من بحر البسيط بقولي:
ممن تلقيت عنهم في الدروس كذا
كذا قوانينهم رئيسهم مخلص
إلى ابن هارون والفقيه مفتى البلدْ
من أدرك المذهبَين وكذا لغة
أشرفنا في البحوث العيدروس اسمه
أقرأنا لكتاب ربنا علي
عبدُ إله الصدور ابن أبي بكرهم
وخير عبد لرحمن بحوطتهم
ابن لعبد القدير من بني المصطفى
ثم عليٌّ لحداد وعلم نُسبْ
قواعدٌ نسبت لعبد رحمننا
عميدنا يا محمد كذا مصطفى
هو ابن عبد لمالك وعبد الكريمْ
عزٌ لدين الحنيف وكذا أمجد
ابن الحسين الشهير بحضوع النجاح
شيخ الشيوخ وسيد الحبائب هوْ
وعرفاتٌ كذا درّسنا عمر
كذا الذين بقوا ولا أذكّرهم
قراءة في علوم الشرع والقلم
بحر الفهامة عبد الله من ينتمي
ابن علي كذا خطيبُ شيخهمِ
محمد للأمين شافع الأمم
سقافنا وكذا الشامي لمحترم
وأحمدٌ من بني فضل لذي النعم
لعلويّ سلامة من السقم
مدير مدرسة الفتح من الحَكَم
أسس دارا لقرآن هُدى الظُلَم
وأحمد ابن عقيل شاع بالكرم
والشرفي في العلوّ حاز في العالَم
لابن سميط وأحمد من العلَم
مَن آله قاضيٌ وعزَّ باللازم
لأشعريٍّ وقد قام لكلهم
بلاغة ومحمد لعرفهمِ
محمد للسقاف ثم با حرَمي
حشوانَهم ينتمى وهو من الخاتَم
فادعوا لمن نظم الإخلاص في الخِدم

وهذه أسماؤهم نثرا: رئيس الجامعة البروفسور الدكتور السيد عبد الله باهارون، والشيخ محمد بن علي باعوضان، والشيخ محمد بن علي الخطيب، والشيخ محمد أمين الشنقيطي، والسيد سقاف علي العيدروس، والدكتور محمد الشامي، والسيد القارئ علي العيدروس، والأستاذ أحمد صالح بافضل، والسيد عبد الله أبو بكر العيدروس، والسيد علوي عبد القادر العيدروس، والسيد عبد الرحمن طه الحبشي، والسيد عبد الله عبد القادر العيدروس، والسيد علي الحداد، والسيد أحمد بن عقيل، والسيد عبد الرحمن عبد الله السقاف، والدكتور علي حسن الشرفي، وعميد كلية الشريعة والقانون الحالي الدكتور السيد محمد عبد القادر العيدروس، والسيد مصطفي بن سميط، والدكتور أحمد بن عبد الملك الحسني، والدكتور عبد الكريم القاضي، والدكتور عز الدين أحمد السوداني، والدكتور أمجد رشيد، والسيد عبد الله حسين العيدروس، والأستاذ محمد معروف، والشيخ السيد محمد بن بصري السقاف، والأستاذ علي عبد الرحمن باحرمي، والأستاذ عرفات، والأستاذ عمر باحشوان. فهؤلاء ممن تلقيتهم، ولا أنسى ممن لا تحصل لي فرصة في التلقي معهم، ومنهم الشيخ السيد حسين مولى عيديد رحمه الله، والدكتور عبد الله بن شهاب، والدكتور علوي حامد بن شهاب، وغيرهم من الأساتذة في التمهيدي منهم الدكتور عبد الوهاب السوداني، والدكتور حامد آدم السوداني، والشيخ عبد الله الشنقيطي والأستاذ يحي زين المعارف.
هذا، والحمد لله أولاً وآخرا، وصل اللهم على سيدنا محمد خاتم الأنبياء والمرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، والحمد لله رب العالمين.

ثبت المراجع
كتب الفقه:
1. الإرشاد (إخلاص الناوي) لشرف الدين إسماعيل بن أبي بكر (ابن المقرئ)، تحقيق الشيخ عبد العزيز عطية زلط، وزارة الأوقاف المصرية، 1411هـ- 1990م.
2. أسنى المطالب شرح روض الطالب لأبي يحي زكريا الأنصاري 823-926، المكتبة الإسلامية.
3. إعانة الطالب الناوي لأبي عبد الله حسين بن أبي بكر النزيلي، تحقيق محمود عبد المجيد خليفة، مطبعة مصر.
4. إعانة الطالبين لأبي بكر بن السيد محمد شطا الدمياطي (السيد البكري)، البابي الحلبي، الطبعة الثانية 1356هـ-1938م.
5. الأم للإمام محمد بن إدريس الشافعي 150-204هـ، دار المعرفة، الطبعة الثانية 1393هـ، (الذيل لمختصر المزني).
6. الأنوار ليوسف بن إبراهيم الأردبيلي، تحقيق الفاضل خلف مفضي المطلق، دار الضياء، الطبعة الأولى 1427هـ-2006م.
7. البيان لأبي الحسين يحي بن أبي الخير بن سالم العمراني 489- 558هـ، دار المنهاج، الطبعة الأولى 1421هـ-2000م.
8. تحفة المحتاج لأحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي 909-974، دار الفكر، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م.
9. ترشيح المستفيدين للسيد علوي بن السيد أحمد السقاف، دار الفكر.
10. التنبيه لأبي إسحاق إبراهيم بن علي الشيرازي 393- 476هـ، دار الفكر، الطبعة الأولى 1416هـ- 1996م (التابع لشرح التنبيه).
11. التهذيب لأبي محمد حسين بن مسعود البغوي المتوفى 516 هـ، تحقيق الشيخ عادل أحمد عبد الموجود والشيخ علي محمد معوض، دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م.
12. حاشية البجيرمي على شرح المنهج سليمان بن عمر بن محمد البجيرمي، البابي الحلبي ،1369هـ-1950م.
13. حاشية ابن القاسم على التحفة لأحمد ابن القاسم العبادي، دار الفكر، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م، (التابع للتحفة).
14. حاشية ابن القاسم على الغرر لأحمد ابن القاسم العبادي، دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م، (التابع للغرر).
15. حاشية الجمل على شرح المنهج لسليمان الجمل، دار الفكر.
16. حاشية الرشيدي على النهاية لأحمد بن عبد الرزاق الرشيدي المتوفى 1096، البابي الحلبي، 1386هـ- 1967م، (التابع للنهاية)
17. حاشية الرملي على أسنى المطالب لأبي العباس محمد بن أحمد بن حمزة الرملي، المكتبة الإسلامية، (التابع لأسنى المطالب).
18. حاشية الشبراملسي على النهاية لعلي الشبراملسي، البابي الحلبي، 1386هـ- 1967م، (التابع للنهاية).
19. حاشية الشربيني على الغرر لعبد الرحمن بن محمد الشربيني المتوفى 1326، دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م، (التابع للغرر).
20. حاشية الشرواني على التحفة لعبد الحميد الشرواني، دار الفكر، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م، (التابع للتحفة).
21. حاشية عميرة على المحلي لشهاب الدين أحمد عميرة المتوفى 957هـ، دار إحياء الكتب العربية.
22. حاشية القليوبي على المحلي لأحمد بن أحمد القليوبي المتوفى 1069هـ، دار إحياء الكتب العربية.
23. الحاوي الكبير لعلي بن محمد الماوردي 364- 450هـ، تحقيق د. محمد مطرجي، دار الفكر، 1414هـ-1994م.
24. الخلاصة لمحمد بن محمد بن محمد الغزالي 450-505هـ، تحقيق د. أمجد رشيد محمد علي، دار المنهاج، الطبعة الأولى 1428هـ- 2007م.
25. روضة الطالبين وعمدة المفتين لأبي زكريا يحي بن شرف النووي المتوفى 676هـ، المكتب الإسلامي، الطبعة الثالثة 1422هـ- 1991م.
26. السراج لأحمد بن لؤلؤ (ابن النقيب)، تحقيق أبي الفضل أحمد بن علي الدمياطي، مكتبة الرشد، الطبعة الأولى 1427هـ- 2007م.
27. شرح التنبيه لجلال الدين عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي المتوفى 911، دار الفكر، الطبعة الأولى 1416هـ- 1996م.
28. الشرح الكبير (فتح العزيز) لأبي القاسم عبد الكريم بن محمد الرافعي المتوفى 623هـ، تحقيق الشيخ عادل أحمد عبد الموجود، والشيخ علي محمد معوض، دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى 1417هـ- 1997م.
29. العباب المحيط لأحمد بن المزجد، دار الفكر، الطبعة الأولى 1427هـ- 2001م.
30. عجالة المحتاج إلى توجيه المنهاج لعمر بن علي ابن الملقن، تحقيق عز الدين هشام بن عبد الكريم، دار الكتب بالأردن 1420هـ- 2001م.
31. الغرر البهية لأبي يحي زكريا الأنصاري 823-926، دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م.
32. فتح الجواد مع حاشيته لأحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي 909-974، البابي الحلبي، الطبعة الثانية 1391هـ- 1971م.
33. فتح الوهاب لأبي يحي زكريا الأنصاري 823-926، البابي الحلبي ،1369هـ- 1950م، (التابع لحاشية البجيرمي).
34. كنز الراغبين لعبد الرحمن المحلي المتوفى 1098، دار إحياء الكتب العربية.
35. اللباب للقاضي أبي الحسين أحمد بن محمد المحاملي المتوفى 407، دار البخاري، تحقيق د. عبد الكريم، الطبعة الأولى 1416هـ.
36. المجموع وتكملته لأبي زكريا يحي بن شرف النووي 676هـ، وعلي بن عبد الكافي السبكي المتوفى 756، تحقيق الشيخ محمد نجيب المطيعي، مكتبة الإرشاد.
37. مختصر المزني للإمام إسماعيل بن يحي المزني المتوفى 264هـ، دار المعرفة، الطبعة الثانية 1393هـ.
38. مغني المحتاج في حل ألفاظ المنهاج لمحمد بن أحمد الخطيب الشربيني المتوفى 977، البابي الحلبي.
39. منهاج الطالبين لأبي زكريا يحي بن شرف النووي المتوفى 676هـ، البابي الحلبي، (التابع لمغني المحتاج).
40. منهج الطلاب لأبي يحي زكريا الأنصاري 823-926، البابي الحلبي ،1369هـ- 1950م، (التابع لحاشية البجيرمي).
41. المهذب لأبي إسحاق إبراهيم بن علي الشيرازي 393-476هـ، البابي الحلبي، الطبعة الثالثة 1396هـ-1976م.
42. النجم الوهاج لأبي البقاء محمد بن موسى الدميري، دار المنهاج، الطبعة الأولى 1425هـ- 2004م.
43. نهاية المحتاج لمحمد بن أحمد الرملي 919-1004هـ، البابي الحلبي، 1386هـ- 1967م.
44. نهاية المطلب لإمام الحرمين عبد الملك بن عبد الله الجويني 419- 498هـ، تحقيق د. عبد العظيم محمود الديب، دار المنهاج، الطبعة الأولى 1428هـ- 2007م.
45. الوسيط لمحمد بن محمد بن محمد الغزالي 450- 505هـ، دار السلام، الطبعة الأولى 1417هـ.
46. الوجيز لمحمد بن محمد بن محمد الغزالي 450- 505هـ، تحقيق الشيخ عادل أحمد عبد الموجود والشيخ علي محمد معوض، دار الكتب العلمية، الطبعة الأولى 1417هـ-1997م (التابع للشرح الكبير).

كتب الحديث والتخريج:
46. تلخيص الخبير لابن حجر العسقلاني، تحقيق شعبان محمد إسماعيل، مكتبة الكليات الأزهرية، 1399هـ-1979م.
47. سنن ابن ماجه لأبي عبد الله محمد بن يزيد القزويني 207- 275هـ، تحقيق محمد فؤاد عبد الباقي، دار الكتب العلمية.
48. سنن البيهقي لأبي بكر أحمد بن الحسين بن علي البيهقي المتوفى 458هـ، تحقيق د. عبد المعطي أمين قلعجي، دار الوفاء، الطبعة الأولى 1410هـ- 1989م.
49. نصب الراية لأبي محمد عبد الله بن يوسف الزيلعي، مؤسسة الريان، الطبعة الأولى 1418هـ- 1997م.

كتب التراجم:
50. الذيل على طبقات ابن الصلاح (التابع لطبقات الفقهاء الشافعية).
51. طبقات الشافعية الكبرى لتاج الدين أبي نصر عبد الوهاب بن علي بن عبد الكافي السبكي 727-771 هـ، تحقيق د.عبد الفتاح الحلو، ود.محمود محمد الطناحي، هجر للطباعة، الطبعة الثانية 1413هـ.
52. طبقات الفقهاء لإبراهيم بن علي الشيرازي 393- 476هـ، تحقيق خليل الميس، دار القلم.
53. الكواكب الدرية في تراجم السادة الصوفية لزين محمد عبد الرؤوف المناوي (952-1031)، تحقيق محمد أديب الجادر، دار صادر بيروت لبنان، الطبعة 1999.
كتب الاصطلاحات:
54. الابتهاج في بيان اصطلاح المنهاج للعلامة أحمد بن أبي بكر بن سميط، مطبعة لجنة البيان العربي، الطبعة الثانية 1380هـ- 1961م.
55. سلم المتعلمين المحتاج إلى معرفة رموز المنهاج للسيد العلامة الفقيه أحمد الميقري شميلة الأهدال، تحقيق إسماعيل عثمان زين، مخطوطة مصورة.
56. الفوائد المكية للسيد علوي بن أحمد السقاف، اعتناء الشيخ حميد بن مسعد الحالمي، دار الفقيه، الطبعة الأولى 1424هـ- 2003م.
57. مطلب الإيقاظ لعبد الله بن حسين بن عبد الله بلفقيه 1198- 1266هـ، تحقيق مصطفى بن سميط، دار العلم والدعوة، الطبعة الأولى 1426هـ- 2005م.


((الفهارس))
الرقم الموضوعات الصفحة
1 المقدمة............................................................... 1
2 التمهيد.............................................................. 4
3 المبحث الأول......................................................... 6
4 فروع - الفرع الأول - المسألة الأولى................................... 8
5 المسألة الثانية......................................................... 10
6 الفرع الثاني – المسألة الأولى........................................... 11
7 المسألة الثانية.......................................................... 13
8 المبحث الثاني.......................................................... 14
9 فروع - الفرع الأول - المسألة الأولى................................... 15
10 المسألة الثانية.......................................................... 16
11 الفرع الثاني - المسألة الأولى............................................ 16
12 المسألة الثانية.......................................................... 17
13 المبحث الثالث......................................................... 18
14 فروع - الفرع الأول - المسألة الأولى................................... 20
15 الفرع الثاني - المسألة الأولى............................................ 21
16 خاتمة................................................................. 22
17 ثبت المراجع........................................................... 25
18 الفهارس.............................................................. 30